2006-06-21

Rahasia Jalan Kematian

Setiap manusia sempurna dengan mudah dapat mengendalikan jalan hidup atau air hidupnya yang disebut tirta nirmaya (Bahasa Budha), ma’ul hayat atau sajaratul makrifat (Arab). Jumlahnya ada 3 dan 9 nirmaya yang tersebar merata diseluruh tubuh, 3 Diantaranya memiliki kemampuan mengetahui dengan teliti sesuatu yang diperlukan. 3 lainnya merupakan permulaan kodrat, sementara itu, dua sisinya merupakan kodrat yang berupa daya kekuatan untuk hidup, yang jika ditutup akan memusnahkan budi dan daya kehidupan.

Tiga daya kekuatan tirta nirmaya itu meliputi : 1 Penglihatan, 2 Pendengaran dan 3. Penciuman, ketiganya adalah termasuk bagian dari Panca Indra Manusia. Jika ke-3nya disatukan dan ditutup kemudian digulung jadi satu, maka terjadilah sukmantaya yang berwarna hijau, biru dan kuning indah bagaikan embun ditembus sinar matahari. Dan inilah sebenarnya rahasia mengenai asal muasal manusia. Disinilah terdapat kesamaan semua manusia, baik atau jahat, bajingan atau auliya maupun seorang raja, Kedua kutub itu bagaikan cincin yang berbentuk lingkaran. Kodrat, permulaan, pertengahan dan akhir hidup manusia.

Banyak orang yang menghadapi sakratul maut (kematian), Kodrat, angan-angan dan keinginanya belum musnah.

Sudah diambang kematian masih saja keinginan dan duniawi masih ada dalam pikiran manusia, akibatnya, gerak napas pada saat maut datang tidak teratur, diantaranya ada orang yang saat mati matanya membelalak seolah tidak rela untuk meninggalkan kenikmatan dunia yang dipinjamkan oleh Allah kepadanya.

Sebaiknya ketika ajal seseorang datang, tidak sedikitpun keinginannya tertinggal, demikian pulalah qudratullah ketika malaikan izrail mencabut nyawa.

Kematian manusia bukan jenis kematian pasif, atau kematian negative dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan muasal hidup. Oleh karenya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Disinilah arti penting syafa’at sang utusan (Rasullullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muahammad.

Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap pribadi dalam menuju kemanunggalannya, sehingga dengan nur itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bukan sejenis kematian pasif , atau kematian yang negative, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.

Kematian itu adalah sesuatu aktifitas yang aktif, sebab ia hanyalah pintu menuju kearah manunggal. Nampah sekali bahwa dalam kematian seseorang itu tetap tidak akan kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan Hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal.

Sembahyang atau Shalat 5 waktu

Shalat 5 waktu dalam sehari itu hanyalah bentuk tata karma, dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shlat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karena itu dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaan hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi. Demikian pula, masalah salah dan abenarnya pelaksanaan shalat 5 waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama.

Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas tata karma, yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.

Umumnya orang dalam melaksanakan shalat , sebenarnya akal budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan budi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.

Sehingga dalam Al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka, dan mendapatkan siksa neraka Wail, sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (Qs. Al-Ma’un/107;4-7). Sedangkan dalam Qs. Al-Mukminun/23;1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapat keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu yaitu shalat yang disertai oleh akhlak yang baik yaitu :
(1).Menghindari diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-nyiakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan. (2). Menunaikan Zakar dan sejenisnya, (3). Menjaga kehormatan diri dari tindakan tidak terpuji dimata orang lain. (4). Menetyapi janji dan amanat serta sumpah, (5). Menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebut akan menempati kehidupan abadi atau kemanunggalan dengan Tuhan.

Namun kalau kita lihat pada kehidupan Nyata sehari-hari, Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakannya. Padahal pesan esensinya adalah agar pikiran dipelihara dan digembalakan agar tidak liar, sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan shlat khusyu’ tersebut. Khusyu itu adalah buah dari shalat. Sedangkan Shalat hakikatnya adalah Eksprimen manunggalnya hamba dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri. Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.

Namun itu adalah inti dari kehidupan, Khuyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanyalah salah satu alat untuk latihan menggembalakan pikiran.

Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan, yakni shalat sebagai bentuk ibadah sesuai dengan bentuk profesi kehidupannya. Orang yang melaksanakan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shlat sejati, shalat yang sebenarnya, atau shlat daim. Karsa dan cipta itulah shalat yang sesungguhnya. Itulah yang menjadi rangkaian antara iman, islam, dan ihksan.

Ihksan

Ikhsan berasal dari kondisi hati yang bersih, dan hati yang bersih adalah pangkal serta cermin selutuh eksistensi menusia di bumi. Ihksan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi buta kepada makhluk.


Syariat

Syariat yang selama ini diajarkan para wali atau ulama adalah “omong kosong belaka”, Syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun harus berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual.

Ilmu Kesempurnaan

Ilmu Kesempurnaan, ilmu sangkan paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, dan tempat ke mana manusia akan kembali.
Manusia secara biologis diciptakan dari tanah merah saja, yang berfungsi sebagai wadah(tempat) persemayaman roh selama di dunia ini, Sehingga jasad manusia tidak kekal, akan membusuk kembali ke tanah. Selebihnya adalah roh Allah, yang setelah kemusnahan raganya, akan menyatu kembali dengan keabadian, Ia disebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling-rasa” (menyatunya rasa ke dalam tuhan).

Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajat fisik, maka keberadaan surga dan neraka adalah didunia ini, sesuai pernyataan popular, bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Dunia adalah neraka bagi orang yang menyatu padu dengan tuhan. Setelah meninggal, ia terbebas dari belenggu wadag-nya, dan bebas bersatu dengan Tuhan. Didunia manunggalnya hamba dengan Tuhan sering terhalang oleh badan biologis, yang disertai denagn nafsu-nafsunya

Apakah Doa Itu?

Rekan-Rekan yang Berbahagia:
Ternyata memang masyarakat Indonesia termasuk salah satu yang paling spiritual atau rohaniah di dunia. Segalanya dimulai dengan doa, baik Bismillah maupun Atas Nama Bapa..., dan diakhiri dengan doa pula. Amin. Tetapi apakah Doa itu?

Om Shanti Shanti Om... seperti diucapkan di Bali adalah Assalamualaikum menurut pengertian Arab. Yang manakah yang benar karena menurut Yahudi, kata itu seharusnya berbunyi Shalom, dan bukan Salam?

Kita di Indonesia banyak mengambil kosa kata Arab sehingga tradisi Yudeo-Kristen di Indonesia terlihat ke-Arab-Araban... Seperti Arab, tetapi bukan. Apakah itu salah?

Hindu di Indonesia juga terhinggapi dan dihinggapi oleh salah kaprah itu. Di SD kita banyak dijejali tentang Monotheisme dan Politheisme. Dan Hindu dibilang sebagai Politheistik, menyembah banyak Dewa. Dulu saya menerima indoktrinasi itu begitu saja.
Sekarang saya tertawa kalau masih ada yang bilang bahwa Hindu itu politheistik.

Saya sekarang mengerti bahwa Hindu itu monotheistik. Tuhan hanya satu, dan Dewa Dewi yang banyak itu hanyalah manifestasi dari Tuhan yang satu. Sangat sederhana sekali, dan tak perlu dibuat ribet.

Masyarakat Indonesia memang pada dasarnya memiliki bakat untuk mendalami kerohanian. Untuk menjadi spiritual bahkan tanpa bersusah-payah menunjukkan bukti seperti orang-orang Barat itu. Kita disini bias bilang bahwa kita beragama, walaupun buktinya secara agregat sangat sedikit. Dan kita dengan bangga bias mengangkat kepala di hadapan masyarakat Barat yang kita cap sebagai Atheis, walaupun buktinya banyak bahwa mereka menerapkan ajaran agama-agama tanpa banyak gembar-gembor seperti para petinggi agama (tertentu) di masyarakat Indonesia.

Inilah Paradoks Spiritualitas. Banyak dari mereka yang menjalani praktek spiritualitas tidak mengklaim dirinya sebagai spiritual. Dan banyak dari mereka yang mengklaim dirinya (atau masyarakatnya, atau kelompoknya) sebagai spiritual atau rohaniah, ternyata
berpraktek kebalikannya. Prakteknya ternyata tidak spiritual, atau hanya semata-mata di keduniawian semata, termasuk menghujat kelompok-kelompok lain dan memonopoli Surga untuk kelompoknya sendiri.

Paradoks Spiritualitas adalah normal. Saking normalnya sehingga kita di Indonesia melihatnya sebagai biasa-biasa saja. Biasalah...!

Kali ini saya ingin mengajak rekan-rekan sekalian yang berbahagia untuk sekedar berbagi pengalaman dan pengertian tentang Doa. Apakah Doa Itu?

Sebagian dari kita berdoa untuk mengumpulkan Pahala. Supaya Pahala itu menumpuk sekian banyak sehingga Tuhan akan melupakan segala Dosa. Supaya Pahala lebih banyak dari Dosa sehingga Tuhan -yang disini divisualkan sebagai Tukang Timbang, seperti pedagang grosir yang menimbang berat barang- bisa memutuskan bahwa si Pendoa layak masuk Surga.

Sebagian dari kita berdoa untuk Menyembah. Sebagian Menyembah Tuhan (atau Dewa, atau Dewi, atau Buddha, atau Yesus, atau apalah...) demi penyembahan itu sendiri. Tanpa pamrih, tanpa alih-alih mengumpulkan Pahala. Sebagian lagi demi mengumpulkan Pahala di Sorga... gak beda seperti mengumpulkan Bonus; seperti Bonus terbang gratis promosi kredit card Citibank atau... mungkin promosi Matahari Department Store. Bonus Bo!

Atau mungkin memohon-mohon kepada Tuhan supaya rezekinya berlimpah-limpah. Mohon saja berkali-kali, malah kalau dengan Puasa bisa lebih afdol. Tuhan akan lembek hatinya dan mengabulkan permintaan si pendoa. Permintaan bisa macam-macam, dan bukan soal kerejekian saja. Bisa juga soal jabatan. Minta naik jabatan kepada Tuhan, minta supaya disayang sama Boss, minta supaya istri tidak nyeleweng, minta supaya suami setia walaupun sudah diterjang proposal selingkuh kanan kiri. Minta supaya anak-anak jadi Orang.

Menjadi Orang atau Manusia itu susah ternyata. Banyak maunya, dan banyak jalannya. Kalau metode tertentu ternyata kurang sip, masih ada metode lainnya. Agama satu kurang afdol, masih bisa pilih agama lain. Cuek azzah, katanya. Yang penting Tuhan denger doa saya, katanya. Itu katanya lho!

Memang lucu. Yang lucu itu bukanlah ajarannya, tetapi para pelakunya. Persis seperti pendukung tim sepakbola. Saling berteriak menjagokan timnya (baca:Agamanya).

Buat saya dan sebagian orang, barangkali, perilaku para pelaku agama yang mengaku sebagai orang yang memiliki kerohanian atau spiritualitas tinggi itu bukanlah hal aneh. Memang lucu, tetapi tidak aneh, dan tidak mengagetkan. Sebagai Data, mereka valid. Valid untuk penelitian Sosiologis (Sosiologi Agama) atau Psikologis (Psikologi Agama).

Yang menjadi tanda tanya bagi saya dan sebagian orang adalah apa yang dilakukan para pelaku keagamaan itu dengan kepercayaan agamanya itu. Apakah Tuhan yang mereka akui sebagai sesembahan itu hanya Slogan semata? Atau adakah suatu Iman tertentu yang diyakini sedemikian rupa sehingga para pelaku keagamaan itu bisa menjadi lebih manusiawi seperti dikehendaki oleh sesuatu yang disebut sebagai Tuhan itu?

Atau, apakah memang benar bahwa sebagian Tuhan dari agama-agama memang tidak Bertuhan sehingga pelaku keagamaan tertentu yang telah dikuasainya menjadi begitu brutal, baik dalam kata-kata maupun perbuatan.

Barangkali jawabnya cuma bisa ditemui dalam Doa yang mereka lakukan. Para peneliti, lihatlah apa Doa mereka? Dan lihatlah kaitan antara Doa dan Perbuatan.

Adakah yang sinkron? Adakah yang menyambung antara Doa yang dipanjatkan ke Atas dan perbuatan yang semata horizontal ke Samping. Kalau ada, maka bias diasumsikan sebagai Sehat. Kalau tidak ada, maka itu Sakit.

Yang Sehat atau Sakit bukanlah agama-agama itu, melainkan pelaku-pelakunya. Lihatlah pengertian tentang Apakah Doa Itu dikalangan mereka yang menjagokan Agama. Dan bandingkahlah dengan praktek nyata di lapangan kemanusiaan. Apakah benar dipraktekkan atau cuap-cuap belaka.

Bola itu Berhala ?

Total jumlah penganut agama Kristen di seluruh dunia 2,1 milyar, agama Islam 1,3 milyar dan Hindu 900 juta, walaupun jumlah seluruh penganut agama di dunia di gabung menjadi satu sekalipun juga; ini tidak mungkin akan bias mengalahkan para pemuja bola yang penganutnya yang berjumlah lebih dari lima milyar orang. Bahkan kalau kita jujur jumlah penganut agama diatas minimum 20% hanyalah penganut agama KTP saja alias tidak aktif, beda dengan para pemuja bola.

Bahkan kenyataan pahit yang harus diterima di Italy maupun di Spanyol yang sudah dari sejak bubuyutan mayoritas penduduknya penganut agama Katolik, tetapi kenyataannya yang berkujung ke gereja sekarang ini semakin hari semakin jauh berkurang, bahkan kalau kita lihat yang hadir di gereja kebanyakan hanya para manula atau kakek gaek saja, tetapi dilain pihak para pemuja bola dari yang muda s/d yang tua selalu berjubel memenuhi stadion dimana-mana. Tuhan agama manapun juga pada saat pertandingan bola mereka selalu kalah dipecundangi oleh bola, mereka lebih senang nonton memuja bola daripada berkujung kerumah ibadah.

Ketika dahulu kita mendapatkan bimbingan agama pertama kalinya dari ayah kita, tetapi tanyalah dan jawablah sendiri apakah Anda pernah memberikan bimbingan agama kepada putera Anda? Apakah Anda pernah memberikan hadiah Kitab Suci/Al Quran kepada putera Anda ? Boro-boro, karena alasannya sibuk dsb-nya, tetapi tidak bisa dipungkiri hampir setiap anak laki-laki pernah mendapatkan hadiah bola dari ortu-nya, bahkan ayahnyalah yang pertama kali membimbing mereka bermain bola.

Oleh sebab itulah jumlah para pemuja bola semakin hari semakin meningkat dengan pesatnya. Tidak ada pesta agama manapun di kolong langit ini yang dirayakan sedemikian lama dan sedemikian meriahnya seperti pesta perayaan Piala Dunia sekarang ini.

Bahkan pernah diadakan test terhadap para murid SMU di Belanda mereka diperlihatkan tiga gambar, Maria, Yesus dan Ronaldinho, dari hasil test tsb ternyata hanya 33% saja yang mengenal bahwa itu gambar dari Maria, 55% masih mengenal gambar Yesus, tapi lebih dari 90% mengenal Ronaldinho. Oleh para penganutnya di India: Ronaldhinho disamakan sebagai Batara Guru - Dewa Siwa (Shiva), bahkan ia disembah di kuil Nakuleswar di Kalkuta. Dan berdasarkan jajak pendapat SMN poll, ternyata 70% pemuja bola di Spanyol bersedia mati untuk Ronaldinho, apabila ia bersedia menjadi pemain dari team nasionalnya.

Firaun membangun piramid; sedangkan para pemimpin negara membangun stadion sebagai pengganti piramid misalnya Olusegun Obasanjo presiden Nigeria, walaupun setiap minggu ia rajin pergi ke gereja, tetapi tidak pernah tersirat di benaknya keinginan untuk membangun gereja, ia lebih senang dan lebih berambisi untuk membangun stadion bola, walaupun negaranya termasuk negara miskin, tetapi untuk membangun stadion Abuja ia telah menghabiskan uang satu milyar AS $, sehingga rakyatnya disana menyebut stadion tsb sebagai Abuja Tempel.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia juga banyak Firaun-firaun kecil dimana mereka telah membangun rumah ibadah dengan tujuan seperti Firaun ialah membangun piramid untuk memegahkan dirinya sendiri dengan alasan seakan-akan untuk illah mereka, tetapi kenyataannya demi ambisi dan ego dirinya sendiri, bahkan ada Pendeta yang ingin mengikuti jejaknya Firaun Ramses II dimana ia ingin membangun piramid eh gereja yang tertinggi di dunia dengan budget tiga triliun Rp.

Karl Marx menilai bahwa agama itu adalah "Opium untuk rakyat", maka saya pun menilai bahwa sepak bola itu sama efeknya seperti opium ataupun pil ekstasi yang mampu memberikan kepada kita impian rasa damai sambil menghilangkan stress maupun melupakan problem sehari-hari kita, tetapi ini hanya sejenak waktu saja. Sepak bola itu mirip seperti balon dari busa sabun yang hanya indah untuk dilihat, tetapi waktunya pun hanya sekejap saja.

Sepak Bola tidak akan dapat memberikan pencerahan maupun bimbingan dalam tatanan moral etik. Sepak bola tidak akan dapat memberikan harapan untuk kehidupan masa depan kita; entah untuk kehidupan di dunia sekarang ini maupun di akhirat. Bola itu mirip seperti berhala yang disembah, walaupun kita memberikan pengorbanan dan persembahan yang berjibun sekalipun juga, tetapi kenyataannya tidak mempunyai fungsi dan efek apapun juga untuk kehidupan spritual kita. Nonton bola tidaklah dosa selama kita tidak melupakan dan menduakan Tuhan hanya demi kepentingan dan kepuasan daging kita ini namanya musyrik.

Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar itu konon "terlalu cepat lahir" dan seharusnya ia baru muncul pada zaman seperti zaman reformasi sekarang ini di mana orang (relatif) bebas mengeluarkan pendapat tanpa dicekal (atau disomasi). Pikirannya yang bertentangan dengan "pandangan resmi" penguasa waktu itu – baik penguasa publik Demak Bintoro maupun petinggi formal agama (Novium-virat Wali Songo) membuat dirinya menjadi korban penulisan sejarah yang tidak autentik. Karena, konon sejarah selalu dianggap autentik, "resmi dan benar" bila ditulis oleh penulis sejarah dari rezim yang berkuasa pada suatu kurun tertentu. Mirip-mirip film "Janur Kuning" yang dijadikan bahan disinformasi tahunan pada zaman Orde Baru.

Pertama, SSJ (= Syekh Siti Jenar) mengembangkan ajaran "cara hidup sufistik" yang bersifat unik-spesifik yang tentu saja pasti berbeda dengan "cara hidup formal ritualistik" menurut tatacara syariah. Yang satu bicara soal "hakekat'(atau bahkan makrifat) sementara yang lainnya masih bicara soal "syariat" atau maksimal soal "tarekat". Sebenarnya pemikiran yang diametral ini tidak perlu dipertentangkan karena hanya merupakan tingkat penyempurnaan seseorang dalam bidang spiritualitas atau keimanan. Kalau si A masih di SD sedangkan si B sudah di SMA - atau bahkan Pasca Sarjana, lalu mengapa taraf pencapaian mereka masing-masing harus atau perlu dipertentangkan secara diametral dan bukannya seyogianya dilihat sebagai bagian dari tahap perkembangan yang bersifat gradual?

Dalam hal ini petinggi publik dan petinggi agama – sebenarnya – juga tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Di mana-mana selalu merupakan relitas bahwa para petinggi agama "berkolusi", bersinergi, minimal merasa lebih dekat satu sama lain dan sama-sama "mengutamakan kepentingan masyarakat terbanyak" sementara masyarakat sufi tidak pernah menjadi representasi "masyarakat terbanyak". Dengan logika seperti itu maka tokoh `mbalelo' seperti SSJ harus dilibas sama seperti logika petinggi politik Orde Baru bahwa "kalau mbalelo nanti saya libas". Imam Besar Yudaisme Kayafas juga berpendapat sama: "Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa." Jadi yang dipakai adalah "azas manfaat di atas mudarat", yang sebenarnya tidak boleh dipakai untuk diterapkan pada manusia tanpa melanggar HAM – tetapi tetap saja dilaksanakan dengan dalih bahwa "HAM publik" harus didahulukan daripada "HAM individual".
Kedua, tata cara hidup sufistik dianggap dapat "meresahkan" masyarakat mayoritas terutama lewat ajaran tentang tidak perlunya melakukan ritualisme formal syariah. Syariah lahiriah mau digantikan dengan syariah batiniah. (Saja juga masih terheran-heran bahwa isyu "meresahkan masyarakat" ini masih tetap valid dan dipakai terus – bahkan di negeri ini dan di seluruh dunia - sebagai "senjata pamungkas" sampai ke detik ini – Kok masyarakat mayoritas mudah benar ya sedikit-sedikit "dianggap" (oleh petinggi agama) menjadi resah, yang mestinya hanya benar pada orang yang kurang beriman saja. Akibatnya, tentu saja para petinggi agama mengadakan approach dan persuasi dengan para petinggi publik bahwa kelompok SSJ secara potensial dapat menjadi cikal bakal anasir pemberontakan. Terutama karena Ki Ageng Pengging yang adalah anak buah SSJ berasal dari trah Majapahit yang mungkin saja suatu saat akan berniat untuk "come back
to power".

Ketiga, "paradigma sufistik" sangat berbeda dengan "paradigma orang awam" demikian pula dalam skala prioritasnya. Bagi kaum sufi maka hidup harus dijalani seakan-akan mati (dengan bermati raga) karena kehidupan yang sebenarnya baru dimulai setelah kematian menjadi realitas. Bagi mereka, orang harus berkali-kali mati (raga) supaya dapat hidup (kekal). Bagi kaum awam yang hedonistik-epikuristik yang penting mengalami hidup ini secara "hinc et nunc" – "sekarang dan di sini" – dengan segala kenikmatannya dan yang terpenting ialah melakukan saja formalisme dan ritualisme keagamaan yang sudah dianggap cukup memadai. Bagi para petinggi agama yang penting ialah (taat hukum agama) dengan melakukan apa yang tampak di luar (apakah semua rukun agama sudah dilakukan atau belum) karena apa yang berlangsung di dalam (batin) tidak kasat mata, tidak dapat diukur dan tidak dapat dijadikan pedoman formal bagi masyarakat publik.

Keempat, kematian SSJ juga dijadikan bahan disinformasi. Di masyarakat terdapat pandangan umum bahwa SSJ dibantai oleh komunitas Wali Songo (minus SSJ). Yang benar ialah SSJ menghentikan hidupnya sendiri dengan "meminum tirta-marta" – suatu istilah eufemistik untuk euthanasia untuk menghentikan aktivitas jantung sendiri secara autogenese – suatu keahlian yang hanya dimiliki para yogi dan ahli kebatinan.

Demikian pula jenazah SSJ yang konon "semerbak beribu bunga" dan "bercahaya kilau kemilau" (memancarkan sinar photon) yang tentunya akan menyiratkan keagungan aura SSJ segera digantikan oleh Sunan Kudus dengan "bangkai seekor anjing kudisan" yang tentunya berbau busuk dengan harapan (etis atau bermoralkah?) akan mampu merusak citra SSJ sebagai seorang aulia.

Kelima, SSJ telah mencoba mendekonstruksi paradigma masyarakat tentang makna hidup yang sejati karena menurut dia banyak orang justru sesungguhnya telah menjalani kematian dalam realitas kehidupannya. Menurut SSJ hidup masyarat umum yang kerapkali hidup dalam keresahan, yang selalu sedih, sengsara, bingung ibarat hidup dalam penjara dan dapat dipandang sebagai "hidup dalam kematian". Manusia yang hidup dalam corak kehidupan yang sudah ter-degradasi seperti itu sebenarnya adalah "manusia yang mati". Dan dunia ini penuh dengan `mayat-mayat hidup" seperti itu,

"Coba kita renungkan ajarannya tentang hidup dan kehidupan secara mistis. Dia berpendapat bahwa hidup yang selalu sedih, sengsara, kebingungan dan sejenisnya adalah penjara. Ini bukan hidup di alam kehidupan, melainkan hidup di alam "kematian". Manusia yang demikian terpuruk dalam kematian hidup. Manusia yang terdegrasi nilai, curang, culas, korup, dan sebagainya adalah manusia yang telah mati menurut Jenar. Dengan demikian maka di dunia ini telah dihuni manusia "Zombie" (mayat-mayat yang kotor), dengan struktur kehidupan yang mati. Tak sedikit mayat-mayat itu mengejar rezeki yang haram. Tak sedikit pula mayat tersebut berebut kedudukan."

Keenam, akhirnya ternyata dekonstruksi yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar adalah "dekonstruksi yang theistik". Bukti bahwa SSJ telah berhasil menyebarkan "virus dekonstruksi" ialah kenyataan bahwa beberapa pengikut setia SSJ turut meminum `tirta-marta" setelah mengetahui panutan mereka melakukan hal tersebut terlebih dahulu. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang (dari Semarang), Ki Kebokenanga, Ki Ageng Tingkir, Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo.

Kesimpulan: Jadi sebenarnya teknologi "dekonstruksi dan rekonstruksi" itu sama sekali terlepas dari proposisi biner yang theistik atau non-theistik karena keduanya tetap berlaku justru karena sifatnya yang hanya serba teknis semata-mata.