2006-06-06

Apa yang terjadi ketika kita mati?

Topik kematian selalu merupakan topik yang penuh dengan misteri. Namun bila kita mau berusaha berpikir lebih jauh dan membebaskan diri dari otoritas pengetahuan yang telah ada di pikiran kita, mungkin fenomena kematian bisa kita mengerti atau paling tidak bisa kita sadari sebagai realita fisik seperti kehidupan. Banyak yang menganggap kematian
terpisah dari kehidupan. Atau dengan kata lain, yang disebut dengan 'hidup' itu rentangnya hanya dari kita lahir (atau paling tidak di mulai dari pembuahan) sampai kita berhenti bernafas. Di luar rentang tersebut kita tidak mendefinisikan sebagai 'kehidupan'. Walaupun banyak yang menyebutnya sebagai 'kehidupan setelah mati', 'roh', 'kehidupan spiritual', dsb.

Dan dari pengertian 'kehidupan terpisah dari kematian' maka kita mengenal konsep 'dunia materi' dan 'dunia non materi'. Materi biasa disebut atau didefinisikan sebagai 'sesuatu yang nyata yang bisa dicerap oleh indera-indera tubuh'. Sedangkan non materi biasa disebut sebagai 'sesuatu yang tidak nyata yang tidak bisa dideteksi oleh indera tubuh namun terasa keberadaannya'. Materi berada dalam tingkat 'indera', non materi berada dalam tingkat 'rasa'. Contoh non materi yang paling mudah di'rasa'kan adalah pikiran. Berikutnya adalah perasaan, jiwa, roh, spirit, dsb. Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa , konsep ini muncul karena kita telah memisahkan pengalaman kehidupan dan pengalaman kematian.

Lalu bagaimana jadinya bila kita membuang konsep 'kehidupan terpisah dari kematian'? Yang artinya kehidupan dan kematian dimengerti sebagai satu-kesatuan pengalaman yang tidak terpisah. Menyatakan hidup kita TIDAK BERAKHIR ketika kita mengalami kematian. Banyak agama dan konsep -konsep spiritualisme yang telah menggali tema seperti ini. Dan banyak yang telah menyatakan bahwa hidup terus berlanjut setelah kematian. Namun satu hal yang pasti, konsep-konsep yang diusung oleh agama maupun spiritualisme kebanyakan hanya bisa dimengerti melalui 'rasa' atau melalui pengertian non materi. Yang akibatnya tidak bisa dilegitimasi oleh ilmu pengetahuan yang sangat menjunjung tinggi materialisme atau pencerapan oleh indera-indera tubuh.

Nah, hal inilah yang membuat pengalaman kehidupan sesudah mati tidak bisa dijadikan sebagai suatu cabang ilmu. Misalnya saja disebut ilmu 'kematian'. Atau menganggap kematian hanyalah sebagai teknologi portal belaka. Tidak bisa atau belum bisa seperti itu, karena sampai saat ini ilmu masih berbatas rentangnya dari kehidupan materi (yang rentangnya sesudah kelahiran dan sebelum kematian).

Keterbatasan ilmu inilah yang membuat kita sebagai manusia terus penasaran dan membuat pengalaman hidup sesudah mati hanya dapat dibayangkan sebatas kepercayaan individu masing-masing. Menurut saya, ini terjadi karena kita telah MEMISAHKAN pengertian kita terhadap kehidupan menjadi 2 bagian yang telah disebutkan di atas, yaitu bagian materi dan bagian non-materi. Jika kita masih memisahkan hal tersebut, maka menurut saya, kita telah membuat suatu definisi batasan yang kita buat sendiri. Intinya, kita telah MEMBUAT KESIMPULAN bahwa dunia nyata dimana kita hidup didefinisikan sebagai entitas NYATA dan TELAH ADA yang terpisah dari 'diri' kita. Dalam hal ini 'diri' dirujuk sebagai
'roh atau jiwa' kita. Dunia nyata diasumsikan TELAH ADA sebelum kita lahir atau hadir di dunia tersebut. Dan itu disebut sebagai sejarah dunia. Dunia nyata juga diasumsikan TETAP ADA walaupun kita telah mati atau meninggalkan dunia tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai dunia masa depan yang eksis bagi anak-cucu atau generasi penerus kita. Dan terakhir, dilihat dari sudut individu, dunia nyata hanya eksis ketika kita lahir sampai sebelum kita mati. Yang artinya ketika kita telah mati, dunia yang kita alami AKAN BERBEDA dengan dunia nyata, begitu juga sebaliknya, BERBEDA PULA dengan dunia nyata, apa yang kita alami sebelum kita lahir.

Inilah definisi dari dunia nyata, yang telah menjadi pondasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini. Namun pemisahan mana yang nyata dan mana yang tak-nyata, atau disebut fragmentasi, telah menghasilkan suatu pendekatan terhadap kehidupan yang tidak utuh. Yang mana telah dan terus menghasilkan konflik akibat fragmentasi yang terjadi dalam memahami kehidupan. Dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini, saya akan membahas tentang pemaknaan dunia nyata, penyatuan diri dengan alam semesta, kematian sebagai pengingat kesejatian diri, dsb.

Sebenarnya apa yang disebut dengan dunia nyata? Apakah benar dunia nyata hanya berbatas dunia yang bisa dicerap oleh indera? Benarkah pengalaman kita sebelum lahir dan sesudah mati tidak dapat disebut sebagai pengalaman di dunia nyata yang sama seperti ketika kita masih hidup? Mengapa harus dibedakan (menjadi dunia gaib misalnya)? Apakah dunia nyata BENAR-BENAR nyata, atau 'nyata' HANYALAH SUATU KONSEP JUA?

Satu hal yang telah kita sepakati. Kita tidak dapat menemukan jiwa/roh kita secara fisik. Dan kita bisa mengatakan jiwa/roh bukanlah realitas fisik atau realitas dunia nyata. Begitu pula dengan 'pikiran' yang menurut saya level ke-berwujud-annya sama seperti jiwa/roh. Pikiran tidak bisa ditemukan secara fisik. Pikiran hanyalah suatu gejala dari aktivitas otak. Demikian pula dengan SEMUA konsep keilmuan yang hanya merupakan gejala atau fenomena dari aktivitas otak. Namun biasanya kita tidak menyamakan pikiran dengan jiwa/roh. Karena kita telah mengasumsikan pikiran akan lenyap setelah kematian dan belum ada sebelum kelahiran, sedangkan jiwa/roh akan terus eksis baik sebelum lahir, selama kehidupan, maupun sesudah mati.

Namun jiwa/roh adalah konsep yang sangat abstrak yang mempunyai definisi, 'sesuatu yang terus eksis setelah kematian atau sebelum kelahiran'. Bagaimanapun kita berusaha untuk mengerti 'apa itu jiwa/roh' atau 'seperti apakah kehidupan setelah kematian atau lebih tepat kehidupan yang kualami sebelum kehidupan seperti sekarang ini', ujung-ujungnya adalah kita membuat konsep-konsep lagi dan lagi. Disinilah titik pentingnya atau titik balik pengertian kita.

KITA MENGIRA KITA MEMILIKI JIWA/ROH. PADAHAL YANG BENAR ADALAH : KITAMEMILIKI 'KONSEP' TENTANG JIWA/ROH.

Pernyataan di atas adalah pernyataan yang paling penting dan mendasar jika kita ingin mengerti tentang 'diri' kita. SEMUA yang kita miliki adalah KONSEP. Perhatikan penekanan pada kata 'SEMUA'. Itu yang dimaksud, termasuk adalah benda fisik, dunia fisik/nyata, tubuh kita. segala hal berwujud fisik maupun non fisik. Bisa saya katakana menganggap dunia sebagai dunia 'nyata' adalah ilusi. Namun saya sarankan anda tidak percaya begitu saja omongan saya. Silahkan membawa sudut pandang ini (dunia adalah ilusi) dalam pengalaman kehidupan anda sehari-hari dan membuktikannya sendiri. Dan sebagai bahan pengertiannya silahkan baca paragraf berikut ini.

KONSEP adalah BUAH PIKIRAN. PIKIRAN adalah GEJALA dari AKTIVITAS OTAK.

Sebenarnya tidak tepat mengatakan pikiran hanyalah berasal dari gejala aktivitas otak belaka. Kita mengetahui pikiran atau yang kita bisa sebut sebagai intelegensi dimiliki oleh seluruh makhluk hidup di dunia ini. Dari makhluk bersel satu sampai bersel kompleks, dari tumbuhan, hewan, sampai manusia mempunyai intelegensi masing-masing. DEMIKIAN PULA DENGAN TUBUH KITA, yang terdiri dari tak terhitung banyaknya sel hidup yang bisa kita sebut sebagai makhluk hidup. Ilmu kedokteran telah membuktikan, sampai taraf tertentu, setiap sel di tubuh kita mempunyai intelegensinya tersendiri. Misalnya bagaimana setiap sel mempunyai perilaku yang berbeda-beda dalam mendekati sumber makanannya. Atau bagaimana organ hati yang terdiri sel-sel hati secara cerdas menyeleksi mana yang berupa sel/virus penyakit dan mana yang bukan. Di tingkat sel masing-masing mempunyai derajat kebebasan dan derajat intelegensinya sendiri. Sehingga bisa dikatakan, intelegensi tersebar di seluruh tubuh kita. Dan bisa dikatakan pula, otak hanyalah sebagai mainframe atau server dari seluruh jaringan intelegensi ditubuh kita. Sehingga kita merasa berpikir berasal dari kepala/otak kita, padahal ketika kita berpikir, seluruh sel tubuh kita IKUT BERPIKIR. Otak hanya merupakan mainframe atau server (otak) yang mempunyai aktivitas berpikir yang paling intens.

Lalu jika intelegensia terdapat pada seluruh sel tubuh, apa yang menyebabkan seluruh sel tubuh itu menjadi sinkron dalam kesatuan yang disebut sebagai makhluk manusia? Ternyata telah diketahui otak kita kira-kira dapat dibagi dalam 3 hirarki. Bagian pertama adalah otak primitif yang bertugas untuk pertahanan hidup. Bagian kedua adalah otak 'jati diri' yang bertugas untuk memberikan kesadaran akan 'diri' yang utuh (ego). Dan bagian ketiga, bagian yang baru saja berkembang adalah otak kognitif, dimana di sini termasuk kemampuan berkomunikasi dalam bahasa, kemampuan berpikir abstrak dan mengkonsepkan atau melabelkan segala sesuatunya. Nah, 3 bagian ini secara simultan menyatukan seluruh sel tubuh dalam kesatuan gerak. Baik yang disadari maupun yang di bawah sadar. Ada pertanyaan lagi, mengapa seluruh sel tubuh tersebut rela melebur menjadi satu identitas baru? Nah, hal ini dapat dijelaskan dalam teori evolusi atau evolusi yang terkompreskan dalam kode-kode genetik dna.

Mengapa bisa terjadi evolusi? Pertanyaan terakhir ini akan saya bahas dalam tulisan bagian ketiga nanti. Yang pasti untuk memahaminya, menuntut kita untuk mengerti cara kerja pikiran kita. Dan mengerti cara kerja pikiran kita berarti berusaha memahami diri sendiri. Ini tidak bisa berjalan dengan masih mempunyai otoritas pengetahuan dalam diri kita. Kita SENDIRI yang harus menyelami diri dan jalan pikiran kita. BUKAN MELALUI ORANG LAIN, ATAU MELALUI SAYA, ATAU MELALUI KONSEP-KONSEP PENGETAHUAN. Karena jika kita melakukan hal itu, maka kita hanya akan mendapatkan pengertian yang basi. Yang jelas kita bukan mengejar suatu konsep lagi, namun mendapatkan pemahaman dan PANDANGAN utuh terhadap dunia. Juga terhadap kematian.

Untuk mengetahui apa yang terjadi ketika kita mati, kita perlu mengetahui dulu apa yang sebenarnya terjadi ketika kita masih hidup. Maksudnya adalah mengetahui dahulu apakah esensi dari dunia 'nyata' ini dengan cara mengetahui apa yang 'tidak nyata' atau yang disebut dengan 'ilusi'. Sehingga dengan demikian kita bisa terus ke pencarian definisi yang paling mendekati 'kebenaran' tentang apa itu mati.

Apa beda antara yang 'tidak nyata' dengan yang 'nyata'? Menurut definisi yang umum, yang 'nyata' adalah yang bisa dicerap oleh indera tubuh. Sedangkan yang 'tidak nyata' adalah yang tidak bisa dicerap oleh indera tubuh, dan hanya bisa di'rasa'kan saja. Dengan demikian dunia material disebut dunia 'nyata', dan dunia non-material (spiritual) disebut dunia yang 'tidak nyata'. Namun benarkah demikian?

Ketika kita HADIR dalam dunia materi, sebenarnya apa sih yang sedang terjadi? Apa yang dimaksudkan dalam kata 'HADIR'? Selama ini kita mengandalkan indera tubuh kita untuk menentukan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Andai kita TIDAK MENGANDALKAN INDERA TUBUH KITA, APA YANG TERJADI? Masih HADIRKAH diri kita? Kalau disadari benar-benar, kehadiran kita, atau lebih tepat KEHADIRAN DUNIA MATERI SANGAT MENGANDALKAN KERJA OTAK, PIKIRAN ATAU INTELEGENSIA. TANPA KEHADIRAN KITA, DUNIA MATERI TIDAK ADA. Dan bisakah hal ini dibalik? TANPA DUNIA MATERI, KITA TIDAK BISA HADIR? Dua-duanya sifat keeksisannya sangat tergantung satu dengan yang lain. Mari kita lihat satu-persatu apakah bisa diterima pernyataan diatas tersebut.

"Tanpa kehadiran kita, dunia materi tidak ada". Pernyataan ini ditelisik dengan memulai membuktikan, 'apakah dunia materi benar-benar ada tanpa kehadiran kita (atau tanpa SI PENGAMAT)'? Pengamatan dan pengumpulan bukti bisa melalui pernyataan-pertanyaan berikut ini :
1. Mengapa pengalaman dalam mimpi terasa hampir-hampir sama riil-nya dengan pengalaman sewaktu terjaga? Apakah itu berarti hampir-hampir ada dua dunia nyata? Dan bila kita mengalami tidur lelap atau bahkan koma dan kemungkinan kecil kita bisa kembali ke dunia nyata, apakah itu berarti dunia mimpi bisa berubah hampir-hampir menjadi riil seperti dunia nyata? Apakah ketika itu kita bisa mengetahui perbedaannya?
2. Dunia 'nyata' memang bisa dibuktikan dari sinkronitas dan konsensus dari pengalaman orang-orang lain. Misalnya, sama-sama menyetujui disana ada sebuah meja berwarna coklat. Hanya saja kesimpulan sinkronitas ini tidak bisa lepas dari sudut pandang individu yang meneliti yang berasal dari kinerja otaknya sendiri. Tidak mungkin kita mencari 'individu yang netral tanpa pengaruh dari kinerja otak'. Jadi sinkronitas dan konsensus beserta label-labelnya (misalnya pelabelan tadi yaitu 'meja coklat') hanyalah konsep dari pikiran dari gejala kinerja otak.
3. Kita tidak dapat menemukan dunia 'nyata' dengan hanya mengamati kinerja otak baik melalui CT Scan ataupun bedah otak. Kesimpulannya tetap sama, ketika kita melihat sebuah pemandangan pantai yang bermandikan cahaya, yang terjadi di dalam batok kepala kita tetaplah hanyalah berisi pergerakan sinyal-sinyal listrik antar jaringan neuron otak, dan kita tidak menemukan cahaya apapun di situ, batok kepala kita tetaplah segelap-gelapnya goa.

Kesimpulannya, buktikan dunia nyata ini ada tanpa bantuan kinerja dari otak! Yang bisa berarti, buktikan dunia nyata ini ada TANPA KITA TURUT HADIR UNTUK MENGAMATINYA! Jadi, APAPUN YANG KITA LAKUKAN, TIDAK DAPAT TERLEPAS DARI KINERJA OTAK atau PIKIRAN atau INTELEGENSIA. Bukti kedua
yang paling nyata adalah, ADANYA FENOMENA KEMATIAN MEMBUKTIKAN DUNIA NYATA MUTLAK TERGANTUNG DENGAN KINERJA OTAK DAN PIKIRAN. Ada dua sifat yang mengiringi fenomena kematian sebagai bukti dunia nyata adalah ilusi :
1. Kita lupa total keadaan kehidupan kita sebelum lahir.
2. Kita tidak tahu total apa yang terjadi setelah kita mati.

Amnesia total dari pra lahir dan pasca mati inilah yang menjadi tanda bagi kita bahwa KEHIDUPAN = KINERJA OTAK. Yang artinya bila otak tidak bekerja maka tidak ada kehidupan seperti saat ini. Dan memang itulah batasan-batasan kinerja otak, yaitu mulai bekerja saat kita lahir dan mati saat kita juga mati. Cocok bukan dengan batasan kehidupan? Cocok juga dengan batasan ilmu. Cocok pula dengan batasan konsep-konsep yang ditawarkan dalam tulisan saya ini.
(Bersambung….)

Surat kepada Setan

Surat kepada Setan
Oleh: Putu Wijaya

Tiba saatnya menulis surat kepada Setan.
Kenapa negeri ini terus digerogoti korupsi. Rakyat gampang beringas. Gara-gara kesenggol sedikit bisa bunuh-bunuhan lalu mengobarkan perang suku. Agama dijadikan senjata. Para pemimpin kehilangan akal sehat dan suka mengerahkan massa. Budayawan bagaikan dewa menguraikan kebenaran menurut enak perutnya sendiri dan tak ragu menyembelih presidennya sendiri. Belum lagi para suhu, pakar, petinggi, bahkan hampir semua profesional sudah berkhianat, tak ada yang sudi berkorban untuk masyarakat.
Soempah Pemoeda 77 tahun yang lalu tidak sakti lagi. Jamrut Khatulistiwa yang pernah dipuji bagai lautan senyum ini, kini menjadi daerah angker dengan label cap tak beradab. Anak-anak sekolah bukannya bersiap jadi generasi pengganti, tapi berantem di atap kereta api, mempraktikkan film laga. Wakil rakyat jor-joran menggelapkan uang negara, main tonjok dalam persidangan dan cakar-mencakar dalam pilkada.
Tidak cukupkah segala yang murahan itu hanya berlangsung di layar kaca? Kenapa narkoba jadi modernisasi, kebejatan jadi atribut gaul dan korupsi jadi usaha? Kenapa menaati hukum, menghargai orang tua, menjunjung moral, agama dan tata krama dianggap bodoh dan kuno?
Para pedagang menyikapi negara lebih baik dijarah daripada digerogoti pejabatnya sendiri. Kaum intelektual juga lebih doyan bertamu ke mancanegara sebab di sana kentutnya dijunjung tinggi, apalagi kritik-kritik dan hujatannya pada Tanah Air mendapat medali. Mereka malah paling rajin mengorek-ngorek pantatnya sendiri untuk menunjukkan betapa baunya bangsa dan negara ini, sambil malu-malu menyembunyikan kuku, karena dia masuk perkecualian.
Semuanya itu pasti gara-gara setan. Setan bertugas menghancurkan dunia membuat manusia menjadi lebih rendah dari binatang. Di mana ada manusia di situ ada setan. Ada yang bilang setan adalah karunia, sebuah mekanisme godaan yang bermakna menguji peradaban. Sering manusia yang sesumbar paling beriman, di balik topengnya yang santun jebul biangnya setan. Anehnya manusia macam itu selalu lebih mujur dari yang jujur. Yang berdosa jadi kaya, berkuasa dan berfoya-foya, sementara yang menentang setan, nasibnya terus termehek-mehek.
Kita tahu siapa setan, meskipun tidak pernah melihatnya. Setanlah sumber segala kebusukan dan malapetaka. Kita wajib menghancurkan dia. Untuk itu kita tidak bisa lagi hanya menghujat, mengutuk, menggonggong dari jauh terus. Membenci memerlukan energi, padahal BBM sudah akan naik lagi. Sekarang harus menukar strategi. Kita sapa setan dengan sopan, hormat, senyum akrab mengandung tawaran, menyiasati untuk kemudian setelah dia jadi jinak, membekuk dan mengakhiri riwayatnya habis.
Kita canangkan gencatan senjata. Bernegosiasi untuk berkoalisi, tapi semuanya hanya basa-basi. Tujuan kita pasti, setan harus mati. Sebaliknya dari kontra, kita harus berkolaborasi. Dengan mengangkat jadi kolega, setan akan mencintai manusia.
Sudah waktunya menulis surat kepada setan.
”Kawan sejati, Setan yang baik hati. Di mana pun kini Anda berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan, kita gotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan curiga-mencurigai, hasilnya akan kurang mamadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini, mari bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua laba kita bagi rata. Kalau perlu kau sembilanpuluh persen, aku sisanya. Aku tunggu balasanmu secepatnya, Setan!”
Surat aku masukkan ke pos tanpa membubuhkan nama atau pun alamat. Tukang pos pasti tahu ke mana harus dibawa. Kalau toh tukang posnya bego, setan sendiri pasti akan langsung mengambil surat itu, sebab dia tahu apa yang harus dia lakukan. Namanya juga setan.
Lalu aku menunggu. Berhari-hari, berminggu-minggu, setahun, lima tahun, kalau perlu sampai 30 tahun aku akan tetap setia menanti. Ternyata tidak ada jawaban. Aku panik. Jangan-jangan setan menolak. Jangan-jangan ia sudah tahu akal bulusku mau mengguntingnya dalam lipatan. Jangan-jangan ia sudah di”up-grade”, hingga tidak bisa lagi dikecoh. Setan kan selalu lebih hebat dari manusia. Kenapa aku jadi lupa?
Rasa takut mulai menusuk. Sukmaku bergetar, ngeri kalau-kalau setan menyerang karena merasa terhina. Habis aku sudah memperlakukannya seperti idiot. Sebentar-sebentar kalau ada mobil berhenti di depan rumah, aku panik, siap kabur. Tapi jebul itu hanya tetangga yang menumpang mobil kantornya. Ketakutan makin membengkak. Akhirnya aku coba mengatasi dengan ekstasi, tapi malah semakin menjadi-jadi.
Dengan panik aku mengunjungi psikolog. Tapi alumni mancanegara itu mengulangi lagi nasihat basi, aku harus berpikir positif. Jangkrik. Aku balik ke rumah dan akhirnya berdoa.
”Tuhan, ini tidak adil, aku kan makhluk ciptaanMu. Tak mungkin Kau tidak mencintai yang Kau ciptakan sendiri. Lindungi aku. Jangan biarkan setan menang. Aku bersumpah kalau manusia yang menang, aku jamin dunia ini akan lebih indah. Orang tidak perlu mati sebelum masuk surga, sebab dunia bisa kami bikin jadi surga oleh rasa cinta yang pada dasarnya juga adalah karuniaMu juga!”
Doa membawa ketenangan. Akhirnya aku pasrah. Cemas sudah membuatku berpikir. Dengan berpikir muncul ide-ide baru. Takut adalah bagian dari karunia untuk membuat peradaban manusia sempurna. Waktu itu tukang pos datang. Ada surat untuk Anda, katanya sambil tersenyum sopan, silakan diterima. Aku mengurut dada lega, syukurlah, akhirnya tiba. Orang sabar kasihan Tuhan.
Penasaran surat aku buka:
”Kawan sejati, Setan yang baik hati. Di mana pun kini Anda berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan, kita gotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan curiga-mencurigai, hasilnya akan kurang mamadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini, mari bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua laba kita bagi rata. Kalau perlu kau sembilanpuluh persen, aku sisanya. Aku tunggu balasanmu secepatnya, Setan!”

Putu Wijaya Sastrawan
[Sumber: Kompas Cyber Media, Jumat, 19 Agustus 2005]