2006-06-11

Antara Terorisme, Negara dan Perjuangan

Sejak terjadinya serangan teror 11 September 2001 yang meluluhlantakkan menara kembar WTC di New York, masalah yang paling hangat dibicarakan adalah isu perang melawan terorisme. Sejauh ini tak ada yang menentang slogan memerangi terorisme. Sebab, terorisme memang sebuah fenomena buruk yang harus dibasmi keamanan dan kedamaian dunia. Hanya saja yang menjadi masalah adalah tampilnya kelompok neo konservatif di Gedung Putih sebagai pihak yang mengklaim kepemimpinan dalam perang ini. Akibatnya, isu perang melawan teror ditunggangi oleh kepentingan kelompok ini.

Dengan bantuan media massa yang ada, kelompok neo konservatif sengaja mengacaukan makna dua hal yang berbeda yaitu terorisme dan perjuangan yang sah. Tak jarang pula, perjuangan disama-artikan dengan terorisme seperti yang terjadi pada perjuangan rakyat Palestina. Selain itu, Barat juga menyempitkan istilah terorisme hanya pada terorisme pribadi atau kelompok dan menafikan adanya praktik terorisme negara.

Terorisme dalam arti menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan, adalah fenomena yang sudah ada sejak dahulu. Dalam beberapa dekade yang lalu, sejumlah kelompok dan organisasi terbiasa menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan pemerintah, lembaga internasional atu phak-pihak lain agar menuruti kehendaknya. Salah satu contoh nyatanya adalah kelompok mafia di negara-negara Barat, yang menggunakan teror untuk meraih kekuasaan, kekuatan dan kekayaan.

Ciri khas dari teror yang membedakannya dari cara kekerasan yang lain adalah kemampuannya menciptakan suasana mencekam. Suasana mencekam yang menghantui rakyat di AS pasca serangan ke WTC, membuat peristiwa itu disebut dengan aksi terorisme, dan kondisi inilah yang lantas dimanfaatkan oleh Gedung Putih untuk kepentingannya.

Bahwa terorisme harus diperangi, itu merupakan sebuah kesepakatan. Tetapi untuk memerangi fenomena ini harus ada penjelasan terlebih dahulu tentang makna dari terorisme. Dengan kata lain, terorisme harus didefinisikan terlebih dahulu sebelum ada langkah untuk memeranginya. Sejauh ada Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyatakan bahwa siapa saja yang menciptakan ketakutan di tengah rakyat, atau pemerintah atau bahkan lembaga internasional, memaksa mereka melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan, membunuh atau mencederai warga sipil, dapat digolongkan sebagai teroris.

Menurut definisi PBB, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemberian perintah teror termasuk ke dalam terorisme. Meskipun definisi ini lebih banyak menyorot terorisme individu dan kelompok, namun melihat isi dan maksudnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah negara pun dapat pula melakukan aksi-aksi terorisme sehingga sudah barang tentu dapat pula disebut sebagai teroris.

Untuk dapat melihat lebih jelas wajah terorisme negara, maka bisa dilihat ciri-ciri teror dan membandingkannya dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah negara. Dalam terorisme biasa penduduk sipil menjadi sasaran. Melihat aksi-aksi beberapa negara imperialis Barat, akan tampak dengan jelas bahwa mereka ini telah membunuh bukan sepuluh atau seratus orang, tapi puluhan ribu manusia tak berdosa di negara-negara jajahan mereka, selain merampas sebanyak mungkin harta kekayaan nasional negara jajahan.

Di antaranya dapat dikatakan bahwa lebih dari 100.000 warga Irak tak berdosa, sejak awal penjajahan atas negara ini pada tahun 2003 hingga kini menjadi korban ketamakan hegemoni AS. Salah satu contoh nyata terorisme negara ialah rezim zionis, yang hingga kini telah membunuh dan mencederai ratusan ribu warga tak berdosa Palestina, dan mengusir jutaan orang dari mereka dari kampung halaman, dalam rangka merampok tanah Palestina dan melanjutkan pemerintahan ilegal mereka di kawasan ini.

Di antara ciri-ciri lain terorisme ialah penciptaan rasa takut dan ngeri di tengah warga. Pembunuhan rakyat di berbagai negara oleh penguasa-penguasa Barat dan rezim zionis, merupakan contoh paling nyata dalam masalah penciptaan rasa takut dan cemas di tengah rakyat luas. Mereka menciptakan suasana seperti itu dengan tujuan memaksa para pejuang untuk menghentikan perlawanan dan menyerah kepada mereka. Tiap harinya, puluhan warga sipil Irak di bunuh secara massal oleh orang-orang dan kelompok tertentu, yang berdasarkan berbagai bukti dan saksi, memiliki jalinan hubungan dekat dengan para pejabat AS. Tel Aviv pun, dengan tuduhan luas Washington, membunuhi warga Palestina dan menganggap aksi keji ini sebagai hak mereka.

Teror adalah perbuatan kekerasan yang mengancam keamanan dan kedamaian. Tak diragukan bahwa aksi-aksi militer negara-negara Barat, terutama AS di negara-negara berkembang, di masa lalu dan sekarang, merupakan contoh paling jelas untuk aksi-aksi anti keamanan dan kedamaian ini. Untuk itulah, sejumlah besar penduduk dan cendekiawan dunia, memandang As sebagai bahaya terbesar bagi perdamaian internasional.

Noam Chomsky, kritikus terkenal AS berkali-kali menekankan bahwa AS adalah negara teroris terbesar di dunia. Dengan demikian, terorisme negara-negara Barat merupakan terorisme terburuk dan paling kejam, yang telah menelan korban sejumlah besar manusia dan merampas kekayaan-kekayaan nasional mereka, dan mengancam kedamaian dunia. meski demikian, negara-negara Barat berusaha membatasi terorisme hanya pada terorisme pribadi dan kelompok. Selain itu mereka juga berusaha meyakinkan masyarakat dunia bahwa terorisme semacam ini banyak muncul dan bersumber dari dunia Islam.

Tipu muslihat lain negara dan media massa Barat ialah, mengesankan perjuangan legal setiap bangsa untuk mempertahankan negara dan kepentingan nasionalnya, sebagai terorisme. Mereka melancarkan propaganda sedemikian rupa dimana jika setiap bangsa yang berada di bawah jajahan mereka bangkit melawan dan mengangkat senjata, berarti mereka melakukan teror. Padahal menurut akal dan fitrah, bertahan dan membela diri dalah perkara yang lazim dan dibenarkan. UU internasional pun membenarkan serta mendorong siapa saja untuk melakukan pembelaan dan pertahanan diri.

Dalam artikel 51 Piagam PBB dikatakan, “Jika terjadi serangan bersenjata terhadap sebuah negara anggota PBB, sampai ketika DK bertindak untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, maka tak ada satu pun dari ketetapan-ketetapan Piagam ini tidak menolak hak memeprtahankan diri, baik dilakukan secara perorangan maupun kolektif.” Dengan demikian rakyat Palestina, Irak dan Afganistan, bukan saja dapat mempertahankan negara mereka menghadapi para penjajah, bahkan DK pun harus bertindak secepatnya untuk menghapus penjajahan atas negara manapun. Sikap diam lembaga ini terhadap penjajahan, tak lain merupakan kelalaian dan ketidakmampuannya dalam mengemban kewajiban.

Sementara itu, negara-negara dan berbagai media massa Barat menyebut pertahanan legal negara-negara berkembang menghadapi para penjajah sebagai terorisme. Akan tetapi mereka lupa bahwa mereka pun bangkit mempertahankan diri menghadapi ekspansi pasukan Hitler, bahkan memandangnya sebagai salah satu kebanggaan terbesar mereka. Di masa Perang Dunia kedua, sejumlah negara Eropa jatuh ke dalam jajahan Nazi
Jerman. Akan tetapi di negara-negara ini muncul kelompok-kelompok pejuang yang bangkit melawan kekuatan penjajah. Saat ini, sejumlah negara dunia ketiga pun tengah berada di bawah penjajahan negara Barat. Seharusnya, mereka pun berhak bahkan harus dibantu dan didorong untuk bangkit melawan para penjajah mereka dengan sekuat tenaga.

Alakulihal, terorisme adalah fenomena buruk, penuh dengan kekerasan, dan sama sekali tak dapat dibela. Sebagaimana terorisme perorangan dan kelompok harus dikecam dan dilawan, maka terorisme negara pun harus dikecam dan dibasmi. Bagaimana pun, propaganda tendensius media-media massa Barat, tidak mungkin mampu mengurangi legalitas perjuangan menentang para agresor dan tidak mampu pula mengendurkan tekad dan semangat rakyat untuk bangkit menentang mereka.