2006-08-14

Jeruk Makan Jeruk

Ada seorang kawan bertanya betulkah makan makanan berjiwa maka akan mempengaruhi jiwa manusia yang memakannya? Contohnya, yang makan daging harimau akan berjiwa harimau, yang makan ular akan berjiwa ular?

Pertanyaan diatas kalau meminjam istilah salah satu iklan di televisi, ibarat yang memakan jeruk maka berakibat sifatnya seperti jeruk, jadinya nanti seperti “jeruk makan jeruk”.

Dalam era informatika seperti sekarang, ada satu formula yang dijadikan sebagai acuan untuk manajemen bisnis. Dengan input yang baik maka akan menghasilkan output yang baik pula. Sampah yang masuk maka akan menghasilkan sampah yang keluar (garbage in = garbage out [GIGO], atau ada juga peribahasa latin “mensana in corpore sana” yang artinya dalam tubuh yang sehat terhadap jiwa yang sehat pula.

Sesuatu yang berhubungan dengan makanan biasanya diatur oleh menu gizi. Kata gizi berasal dari bahasa arab “ghidzdzi” dan sekarang telah diadaptasi menjadi bahasa Indonesia. Gizi artinya sesuatu yang berhubungan dengan makanan. Dalam pengertian kesehatan , gizi adalah zat makanan atau minuman yang diperlukan untuk pertumbuhan.

Tuhan menciptakan tubuh yang memerlukan makanan. Tuhan juga menciptakan syahwat (rasa ingin) untuk menyantap makanan. Selain itu Tuhan juga menciptakan organ-organ yang dapat mengolah makanan di dalam tubuh, mengatur fungsi makanan untuk anggota tubuh, serta mengganti sel-sel tubuh yang rusak, seperti seorang pekerja yang ditugasi memperbaiki apa yang rusak dan menambal apa yang bocor. Tuhan menciptakan itu agar tubuh manusia terhidar dari sakit dan kehancuran.

Kesehatan badan terjamin apa bila asupannya juga baik, artinya formula GIGO juga berlaku disini, sehingga diperlukan aturan dalam makanan dan minuman.

Makanan yang mengandung hidrat arang misalnya beras, gandum dan kurma, yang mengandung putih telur misalnya telur, susu, daging, ikan. Yang mengandung vitamin A seperti ikan, daging, susu, buah-buahan, sayur mayur, yang mengandung vitamin D misalnya sinar matahari dan beberpa makanan seperti minyak ikan dan yang mengandung vitamin K misalnya sayur-sayuran.

Sebelum membahas jawaban atas pertanyaan apakah makan-makanan mahluk yang berjiwa akan menjiwai mahluk yang memakannya? Sebaiknya terlebih dahulu kita bahas tentang jiwa maupun roh yang menemani raga manusia dan binatang, agar konsepsinya sama.

Persamaan manusia dengan binatang adalah selain memiliki tubuh juga memiliki jiwa dan roh. Hanya saja antara jiwa dan roh seringkali dirancukan menjadi satu kesatuan, sehingga pada umumnya orang melihat hanya dua bagian yang signifikan.

Agar mudah memahaminya, sebaiknya kita mendefinisikan dahulu beda antara jiwa dan roh. Biasanya kata roh dihubungkan dengan dzat ilahiah, yaitu sesuatu yang menyebabkan munculnya kehidupan pada benda yang tadinya benda mati sekaligus menularkan sifat-sifat ketuhanan kepadanya, contoh kata roh yang melekat atau menyifati malaikat seperti roh kudus. Roh juga bisa menggambarkan fungsi kehidupan.

Paling tidak ada tiga hal yang membedakan roh dan jiwa, yaitu karena substansinya, karena fungsinya dan karena sifatnya.

Jadi dengan roh itu manusia menjadi memiliki kehendak, dengan roh pula manusia menjadi bijaksana, berilmu pengetahuan, memiliki perasaan cinta dan kasih, berbagai sifat ketuhanan tentunya dalam skala manusia. Roh adalah dzat yang menjadi media penyampai Sifat-sifat ketuhanan di dalam kehidupan manusia.

Bagaimana dengan jiwa? Tuhan menciptakan badan manusia dari material tanah, kemudian meniupkan sebagian Roh-Nya kepada badan itu. Maka hiduplah ‘bahan organic’ terbuat dari tanah menjadi badan manusia, akibat bersatunya badan dan roh maka muncul jiwa sebagai interaksi antara roh dengan badan.

Jiwa adalah akibat. Bukan penyebab. Penyebab utama adalah masuknya roh ke dalam badan, kemudian muncullah jiwa sebagai interaksi antara roh dan badan.

Jiwa ini yang bergerak dan kualitasnya berubah terus diantara kutub cahaya – sang roh – kutub kegelapan – badan manusia yang menjadi tanah. Antara kutub malaikat dan kutub setan.

Didalam badan yang sudah ada ruhnya itu jiwa berkembang mencapai bentuk yang tertinggi. Ada dua kutub dalam diri kita yang saling tarik menarik, yaitu antara roh dan badan.

Roh mewakili sifat malaikat yang penuh dengan ketaatan, keikhlasan, akal sehat, kesucian, cinta kasih dan kesempurnaan. Sedangkan badan mewakili sifat duniawi, kehidupan materialistic, keserakahan, kemarahan dan tipu daya kehidupan lainnya.

Walaupun roh dan jiwa itu berbeda tetapi banyak kalangan berpendapat bahwa roh dan jiwa itu sama.

Untuk memudahkan pengertian contoh jiwa dan raga pada mahluk hidup adalah seperti pengendara dengan mobil. Pengendara adalah jiwa sementara raga adalah mobilnya. Sehingga bisa diibaratkan jiwa dan raga adalah bagai mobil dan pengendara yang melaju di jalan raya kehidupan. Mobil adalah benda mati pengendara adalah mahluk hidup yang punya kehendak. Contoh diatas kelihatan janggal karena mahluk hidup itu sendiri adalah satu kesatuan system, seperti sekeping mata uang memiliki dua sisi yaitu gabungan jiwa dan raga sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, pemisahan antara jiwa dan raga baru terjadi setelah kematian. Sang jiwa kembali ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dan raga atau badan kembali ke bumi untuk kembali di urai menjadi tanah. Demikian juga hewan yang dipotong dan dijadikan sebagai santapan manusia, setelah dimasak dan dimakan, dan diproses oleh tubuh manusia, dan sebagaian nutrisinya diserap tubuh dan yang ampasnya terbuang bersama kotoran dan pada akhirnya juga kembali ke tanah.

Seiring berjalannya waktu ilmu pengetahuan berkembang, pada abad 21 ini telah ditemukan bahwa di dalam tubuh kita ada unit terkecil. Unit terkecil itu disebut sel. Sel bisa berkembang biak, bertumbuh, regenerasi dan memenuhi kebutuhannya secara otomatis. Seluruh organ tubuh manusia terbangun dari sekumpulan sel. Ada sel darah, sel otot, sel tulang, sel otak, sel jantung, sel liver dan sebagainya.

Sel tersebut memiliki mekanisme perlindungan terhadap zat-zat yang berbahaya bagi kelangsungan hidup sel. Sel harus memproduksi protein untuk kelangsungan hidupnya. Cara produksi sel itu seperti pabrik kimia. Pertama-tama sel menerima bahan mentah dari darah. Bahan mentah itu berasal dari makanan yang sudah dicerna, diserap oleh darah kemudian diedarkan ke seluruh sel-sel tubuh. Selain sari-sari makanan, sel juga menerima pasokan bahan mantah berupa oksigen yang berasal dari pernafasan paru-paru. Sel membutuhkan pecahan-pecahan bahan mentah yang merupakan kombinasi air, gula, asam amino, oksigen, Na, Cl, K, Fe dan sebagainya tergantung dari jenis selnya. Setelah bahan dasar tersebut tersedia, maka diproduksi protein oleh sel dalam bentuk kombinasi atom-atom organic.

Protein adalah zat yang sangat dominan di dalam tubuh mahluk hidup, termasuk manusia. Seperlima tubuh manusia adalah protein dan bagian terbesar adalah air.

Di dalam inti sel ada perintah-perintah yang menyuruh untuk membentuk protein agar sesuai dengan kebutuhan selnya. Perintah itu berbentuk kode-kode protein, yang disebut Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Bahan DNA ini merupakan kode genetika didalam untai genetika. DNA merupakan perintah yang akan diterjemahkan oleh jenis protein lain yang disebut Ribonucleic Acid (RNA). Berdasarkan perintah itulah ‘mesin produksi’ sel membuat protein-protein tertentu.

Demikian rumit pemrosesannya, proses produksi ini berlangsung di dalam sel tersebut. Dan prosesnya di luar kesadaran mahluk hidup. Tentunya semuanya ini bisa berlangsung oleh karena kuasa oleh Dzat Yang Maha Cerdas, yang telah dengan sengaja menciptakan sekaligus mengendalikan mahluknya.

Lalu bagaimana dengan binatang, apakah dia juga seperti manusia memiliki ruh, jiwa dan raga?

Binatang diciptakan tidak sesempurna manusia. Binatang hanya memperoleh sebagian kecil dari sifat-sifatNya, umpamanya sifat hidup. Potensi binatang yang ditimbulkan berupa insting tidak sampai ke akal budi. Sifat-sifat Tuhan tidak mengimbas secara sempurna tidak seperti manusia, oleh karenanya tidak bisa disebut Roh-Nya. Demikian pula tumbuhan, potensi kehidupan rohnya hanya mengimbas sebagian kecil saja. Kesempurnaannya jauh dibawah binatang.

Roh bekerja dengan skala yang lebih luas dari jiwa. Wilayah cakupannya meluas sampai ke jaringan infrastruktur tubuh manusia, bahkan samapi ke unit tekecil yaitu sel. Sedangkan jiwa bekerja adalah ‘program aplikasi’,jika ruh tidak berfungsi, jiwa juga tidak berfungsi. Tapi sebaliknya, kalau jiwa tidak bekerja roh masih bisa bekerja.

Jiwa memiliki pengaruh atas badan, tapi tidak mempengaruhi terhadap roh. Roh adalah yang memiliki pengaruh paling besar, karena ia berpengaruh kepada kerja jiwa dan badan sekaligus. Jika roh tidak berfungsi, maka badan dan jiwa tidak berfungsi. Keduanya menjadi tidak hidup orang menyebutnya mati.

Pengaruh jiwa terhadap tubuh itu tidak mutlak sebagaimana roh. Ketika jiwa kuat, maka badan akan ikut kuat, sebaliknya jika jiwa kita lemah maka badan kita juga ikut lemah. Tetapi melemahnya badan itu tidak sampai nol, yaitu sebatas titik dasar yang menjadi wilayah kekuasaan roh.

Misalnya, jiwa orang yang melemah menyebabkan seseorang menjadi pingsan. Ketika pingsan itu pengaruh jiwa menjadi nol, tetapi badan tidak mati, karena masih ada fungsi roh yang bekerja pada badan.

Pusat pengendalian jiwa manusia berpusat pada otak, sehingga kalau sel otaknya mengalami kerusakan maka rusak pula jiwanya. Sebagaimana roh pengaruh jiwa juga menyebar keseluruh penjuru badan kita. Hanya saja lebih dominan di wilayah sadar, sementara kalau roh sampai ke wilayah bawah sadar. Ketika berada dalam kondisi sadar, jiwa berpengaruh terhadap aktifitas kita. Tetapi begitu kesadaran kita hilang, maka kendalinya bergeser ke peranan roh. Jiwa masih tetap ‘hidup’, badan juga ‘hidup’ tetapi keduanya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. (QS:[39]:42).

Dari uraian tentang jiwa dan roh diatas, saya menyimpulkan bahwa akibat langsung dan pengaruh makanan terhadap sifat manusia tidak bersifat revolusioner, umpamanya makan daging harimau maka bertabiat seperti harimau. Artinya memahami menurunnya suatu sifat itu adalah bukan arti literal/eksoterik (letter-lijk) tertapi secara falsafi atau essoterik berupa kajian yang mendalam.

Menurunnya suatu genetika, dalam pelajaran biologi itu karena kromosom. Di dalam kromosom ada gen. Gen ini yang menurun dari orang tua ke anak karena kesamaan genetika. Jadi tidak bisa disamakan umpamanya makan harimau akan bertabiat seperti harimau. Hanya saja perilaku makan makanan yang menyimpang secara particular memungkinkan memiliki jiwa menyimpang juga, efek ini didapat dengan cara tidak langsung, dan bersifat psychologis.

Secara realitas makan daging memungkinkan tubuh mendapatkan kebutuhan akan nutrisi yang terkandung dalam daging itu untuk dijadikan pada protein atau energi. Protein didalam tubuh manusia ada seperlima dari berat tubuh. Separohnya terdapat di otot, seperlimanya terdapat pada tulang, sepersepuhnya pada kulit dan selebihnya disimpan pada jaringan lain. Semua enzim , berbagai hormon, pengangkut zat gizi dan darah adalah protein, dan semuanya itu diproduksi oleh sel-sel didalam tubuh kita.

Belajar dari makan makanan tubuh yang tersebut diatas, bisa ditarik hikmah sebagai berikut :

Kalau makanan badan adalah nasi, lauk dan sebagainya, maka makanan jiwa adalah makna-makna informasi. Ada makanan-makanan yang merugikan badan, adapula informasi-informasi yang merugikan jiwa. Ada makanan yang menyehatkan badan, ada juga informasi yang meningkatkan kualitas jiwa.

Makna-makna hikmah yang terkandung di dalam kitab suci adalah makanan jiwa yang paling bergizi. Semakin lama merenungi kandungannya semakin banyak yang terserap oleh jiwanya, maka makin bersih jiwa itu, dan semakin sempurna kualitasnya.

Makanan begitu banyak di muka bumi, pilihan begitu banyak maka yang baik adalah makan makanan sehat bergizi dan yang membawa berkah. Jeruk Makan Jeruk

Ada seorang kawan bertanya betulkah makan makanan berjiwa maka akan mempengaruhi jiwa manusia yang memakannya? Contohnya, yang makan daging harimau akan berjiwa harimau, yang makan ular akan berjiwa ular?

Pertanyaan diatas kalau meminjam istilah salah satu iklan di televisi, ibarat yang memakan jeruk maka berakibat sifatnya seperti jeruk, jadinya nanti seperti “jeruk makan jeruk”.

Dalam era informatika seperti sekarang, ada satu formula yang dijadikan sebagai acuan untuk manajemen bisnis. Dengan input yang baik maka akan menghasilkan output yang baik pula. Sampah yang masuk maka akan menghasilkan sampah yang keluar (garbage in = garbage out [GIGO], atau ada juga peribahasa latin “mensana in corpore sana” yang artinya dalam tubuh yang sehat terhadap jiwa yang sehat pula.

Sesuatu yang berhubungan dengan makanan biasanya diatur oleh menu gizi. Kata gizi berasal dari bahasa arab “ghidzdzi” dan sekarang telah diadaptasi menjadi bahasa Indonesia. Gizi artinya sesuatu yang berhubungan dengan makanan. Dalam pengertian kesehatan , gizi adalah zat makanan atau minuman yang diperlukan untuk pertumbuhan.

Tuhan menciptakan tubuh yang memerlukan makanan. Tuhan juga menciptakan syahwat (rasa ingin) untuk menyantap makanan. Selain itu Tuhan juga menciptakan organ-organ yang dapat mengolah makanan di dalam tubuh, mengatur fungsi makanan untuk anggota tubuh, serta mengganti sel-sel tubuh yang rusak, seperti seorang pekerja yang ditugasi memperbaiki apa yang rusak dan menambal apa yang bocor. Tuhan menciptakan itu agar tubuh manusia terhidar dari sakit dan kehancuran.

Kesehatan badan terjamin apa bila asupannya juga baik, artinya formula GIGO juga berlaku disini, sehingga diperlukan aturan dalam makanan dan minuman.

Makanan yang mengandung hidrat arang misalnya beras, gandum dan kurma, yang mengandung putih telur misalnya telur, susu, daging, ikan. Yang mengandung vitamin A seperti ikan, daging, susu, buah-buahan, sayur mayur, yang mengandung vitamin D misalnya sinar matahari dan beberpa makanan seperti minyak ikan dan yang mengandung vitamin K misalnya sayur-sayuran.


Sebelum membahas jawaban atas pertanyaan apakah makan-makanan mahluk yang berjiwa akan menjiwai mahluk yang memakannya? Sebaiknya terlebih dahulu kita bahas tentang jiwa maupun roh yang menemani raga manusia dan binatang, agar konsepsinya sama.

Persamaan manusia dengan binatang adalah selain memiliki tubuh juga memiliki jiwa dan roh. Hanya saja antara jiwa dan roh seringkali dirancukan menjadi satu kesatuan, sehingga pada umumnya orang melihat hanya dua bagian yang signifikan.

Agar mudah memahaminya, sebaiknya kita mendefinisikan dahulu beda antara jiwa dan roh. Biasanya kata roh dihubungkan dengan dzat ilahiah, yaitu sesuatu yang menyebabkan munculnya kehidupan pada benda yang tadinya benda mati sekaligus menularkan sifat-sifat ketuhanan kepadanya, contoh kata roh yang melekat atau menyifati malaikat seperti roh kudus. Roh juga bisa menggambarkan fungsi kehidupan.


Paling tidak ada tiga hal yang membedakan roh dan jiwa, yaitu karena substansinya, karena fungsinya dan karena sifatnya.

Jadi dengan roh itu manusia menjadi memiliki kehendak, dengan roh pula manusia menjadi bijaksana, berilmu pengetahuan, memiliki perasaan cinta dan kasih, berbagai sifat ketuhanan tentunya dalam skala manusia. Roh adalah dzat yang menjadi media penyampai Sifat-sifat ketuhanan di dalam kehidupan manusia.

Bagaimana dengan jiwa? Tuhan menciptakan badan manusia dari material tanah, kemudian meniupkan sebagian Roh-Nya kepada badan itu. Maka hiduplah ‘bahan organic’ terbuat dari tanah menjadi badan manusia, akibat bersatunya badan dan roh maka muncul jiwa sebagai interaksi antara roh dengan badan.

Jiwa adalah akibat. Bukan penyebab. Penyebab utama adalah masuknya roh ke dalam badan, kemudian muncullah jiwa sebagai interaksi antara roh dan badan.

Jiwa ini yang bergerak dan kualitasnya berubah terus diantara kutub cahaya – sang roh – kutub kegelapan – badan manusia yang menjadi tanah. Antara kutub malaikat dan kutub setan.

Didalam badan yang sudah ada ruhnya itu jiwa berkembang mencapai bentuk yang tertinggi. Ada dua kutub dalam diri kita yang saling tarik menarik, yaitu antara roh dan badan.

Roh mewakili sifat malaikat yang penuh dengan ketaatan, keikhlasan, akal sehat, kesucian, cinta kasih dan kesempurnaan. Sedangkan badan mewakili sifat duniawi, kehidupan materialistic, keserakahan, kemarahan dan tipu daya kehidupan lainnya.

Walaupun roh dan jiwa itu berbeda tetapi banyak kalangan berpendapat bahwa roh dan jiwa itu sama.

Untuk memudahkan pengertian contoh jiwa dan raga pada mahluk hidup adalah seperti pengendara dengan mobil. Pengendara adalah jiwa sementara raga adalah mobilnya. Sehingga bisa diibaratkan jiwa dan raga adalah bagai mobil dan pengendara yang melaju di jalan raya kehidupan. Mobil adalah benda mati pengendara adalah mahluk hidup yang punya kehendak. Contoh diatas kelihatan janggal karena mahluk hidup itu sendiri adalah satu kesatuan system, seperti sekeping mata uang memiliki dua sisi yaitu gabungan jiwa dan raga sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, pemisahan antara jiwa dan raga baru terjadi setelah kematian. Sang jiwa kembali ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dan raga atau badan kembali ke bumi untuk kembali di urai menjadi tanah. Demikian juga hewan yang dipotong dan dijadikan sebagai santapan manusia, setelah dimasak dan dimakan, dan diproses oleh tubuh manusia, dan sebagaian nutrisinya diserap tubuh dan yang ampasnya terbuang bersama kotoran dan pada akhirnya juga kembali ke tanah.

Seiring berjalannya waktu ilmu pengetahuan berkembang, pada abad 21 ini telah ditemukan bahwa di dalam tubuh kita ada unit terkecil. Unit terkecil itu disebut sel. Sel bisa berkembang biak, bertumbuh, regenerasi dan memenuhi kebutuhannya secara otomatis. Seluruh organ tubuh manusia terbangun dari sekumpulan sel. Ada sel darah, sel otot, sel tulang, sel otak, sel jantung, sel liver dan sebagainya.

Sel tersebut memiliki mekanisme perlindungan terhadap zat-zat yang berbahaya bagi kelangsungan hidup sel. Sel harus memproduksi protein untuk kelangsungan hidupnya. Cara produksi sel itu seperti pabrik kimia. Pertama-tama sel menerima bahan mentah dari darah. Bahan mentah itu berasal dari makanan yang sudah dicerna, diserap oleh darah kemudian diedarkan ke seluruh sel-sel tubuh. Selain sari-sari makanan, sel juga menerima pasokan bahan mantah berupa oksigen yang berasal dari pernafasan paru-paru. Sel membutuhkan pecahan-pecahan bahan mentah yang merupakan kombinasi air, gula, asam amino, oksigen, Na, Cl, K, Fe dan sebagainya tergantung dari jenis selnya. Setelah bahan dasar tersebut tersedia, maka diproduksi protein oleh sel dalam bentuk kombinasi atom-atom organic.

Protein adalah zat yang sangat dominan di dalam tubuh mahluk hidup, termasuk manusia. Seperlima tubuh manusia adalah protein dan bagian terbesar adalah air.

Di dalam inti sel ada perintah-perintah yang menyuruh untuk membentuk protein agar sesuai dengan kebutuhan selnya. Perintah itu berbentuk kode-kode protein, yang disebut Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Bahan DNA ini merupakan kode genetika didalam untai genetika. DNA merupakan perintah yang akan diterjemahkan oleh jenis protein lain yang disebut Ribonucleic Acid (RNA). Berdasarkan perintah itulah ‘mesin produksi’ sel membuat protein-protein tertentu.

Demikian rumit pemrosesannya, proses produksi ini berlangsung di dalam sel tersebut. Dan prosesnya di luar kesadaran mahluk hidup. Tentunya semuanya ini bisa berlangsung oleh karena kuasa oleh Dzat Yang Maha Cerdas, yang telah dengan sengaja menciptakan sekaligus mengendalikan mahluknya.

Lalu bagaimana dengan binatang, apakah dia juga seperti manusia memiliki ruh, jiwa dan raga?

Binatang diciptakan tidak sesempurna manusia. Binatang hanya memperoleh sebagian kecil dari sifat-sifatNya, umpamanya sifat hidup. Potensi binatang yang ditimbulkan berupa insting tidak sampai ke akal budi. Sifat-sifat Tuhan tidak mengimbas secara sempurna tidak seperti manusia, oleh karenanya tidak bisa disebut Roh-Nya. Demikian pula tumbuhan, potensi kehidupan rohnya hanya mengimbas sebagian kecil saja. Kesempurnaannya jauh dibawah binatang.

Roh bekerja dengan skala yang lebih luas dari jiwa. Wilayah cakupannya meluas sampai ke jaringan infrastruktur tubuh manusia, bahkan samapi ke unit tekecil yaitu sel. Sedangkan jiwa bekerja adalah ‘program aplikasi’,jika ruh tidak berfungsi, jiwa juga tidak berfungsi. Tapi sebaliknya, kalau jiwa tidak bekerja roh masih bisa bekerja.

Jiwa memiliki pengaruh atas badan, tapi tidak mempengaruhi terhadap roh. Roh adalah yang memiliki pengaruh paling besar, karena ia berpengaruh kepada kerja jiwa dan badan sekaligus. Jika roh tidak berfungsi, maka badan dan jiwa tidak berfungsi. Keduanya menjadi tidak hidup orang menyebutnya mati.

Pengaruh jiwa terhadap tubuh itu tidak mutlak sebagaimana roh. Ketika jiwa kuat, maka badan akan ikut kuat, sebaliknya jika jiwa kita lemah maka badan kita juga ikut lemah. Tetapi melemahnya badan itu tidak sampai nol, yaitu sebatas titik dasar yang menjadi wilayah kekuasaan roh.


Misalnya, jiwa orang yang melemah menyebabkan seseorang menjadi pingsan. Ketika pingsan itu pengaruh jiwa menjadi nol, tetapi badan tidak mati, karena masih ada fungsi roh yang bekerja pada badan.

Pusat pengendalian jiwa manusia berpusat pada otak, sehingga kalau sel otaknya mengalami kerusakan maka rusak pula jiwanya. Sebagaimana roh pengaruh jiwa juga menyebar keseluruh penjuru badan kita. Hanya saja lebih dominan di wilayah sadar, sementara kalau roh sampai ke wilayah bawah sadar. Ketika berada dalam kondisi sadar, jiwa berpengaruh terhadap aktifitas kita. Tetapi begitu kesadaran kita hilang, maka kendalinya bergeser ke peranan roh. Jiwa masih tetap ‘hidup’, badan juga ‘hidup’ tetapi keduanya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. (QS:[39]:42).

-o0o-

Dari uraian tentang jiwa dan roh diatas, saya menyimpulkan bahwa akibat langsung dan pengaruh makanan terhadap sifat manusia tidak bersifat revolusioner, umpamanya makan daging harimau maka bertabiat seperti harimau. Artinya memahami menurunnya suatu sifat itu adalah bukan arti literal/eksoterik (letter-lijk) tertapi secara falsafi atau essoterik berupa kajian yang mendalam.

Menurunnya suatu genetika, dalam pelajaran biologi itu karena kromosom. Di dalam kromosom ada gen. Gen ini yang menurun dari orang tua ke anak karena kesamaan genetika. Jadi tidak bisa disamakan umpamanya makan harimau akan bertabiat seperti harimau. Hanya saja perilaku makan makanan yang menyimpang secara particular memungkinkan memiliki jiwa menyimpang juga, efek ini didapat dengan cara tidak langsung, dan bersifat psychologis.

Secara realitas makan daging memungkinkan tubuh mendapatkan kebutuhan akan nutrisi yang terkandung dalam daging itu untuk dijadikan pada protein atau energi. Protein didalam tubuh manusia ada seperlima dari berat tubuh. Separohnya terdapat di otot, seperlimanya terdapat pada tulang, sepersepuhnya pada kulit dan selebihnya disimpan pada jaringan lain. Semua enzim , berbagai hormon, pengangkut zat gizi dan darah adalah protein, dan semuanya itu diproduksi oleh sel-sel didalam tubuh kita.

Belajar dari makan makanan tubuh yang tersebut diatas, bisa ditarik hikmah sebagai berikut :

Kalau makanan badan adalah nasi, lauk dan sebagainya, maka makanan jiwa adalah makna-makna informasi. Ada makanan-makanan yang merugikan badan, adapula informasi-informasi yang merugikan jiwa. Ada makanan yang menyehatkan badan, ada juga informasi yang meningkatkan kualitas jiwa.

Makna-makna hikmah yang terkandung di dalam kitab suci adalah makanan jiwa yang paling bergizi. Semakin lama merenungi kandungannya semakin banyak yang terserap oleh jiwanya, maka makin bersih jiwa itu, dan semakin sempurna kualitasnya.

Makanan begitu banyak di muka bumi, pilihan begitu banyak maka yang baik adalah makan makanan sehat bergizi dan yang membawa berkah.

Agustus dimata Belanda

Juli adalah pesta kalkun bagi orang Amerika di hari jadi. Agustusan adalah sorak-sorai orang Indonesia yang menyakitkan Kerajaan Belanda, karena Jepang membiarkan patriot Indonesia merdeka.

Sakitnya Belanda bukan karena kecolongan kekuasaan. Lebih sakit, karena "seharusnya Indonesia tidak terpuruk seperti sekarang". Belanda saja bisa mengelola selama 300 tahun dengan relatif stabil, lingkungan terjaga apik, gaji pegawai cukup buat tiga bulan. Terlepas Belanda menjajah, hidup masyarakat zaman normal relatif lebih baik. Indonesia harus fair.

"Ambtenaar"-lokal

Dulu rakyat produktif. Semua layanan administrasi publik berjalan mulus, tanpa pungli. Yang strategis, konsepsi tata ruang yang siap mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Kini, banjir masuk Istana. Rusak oleh ambtenaar-lokal.

Perilaku ambtenaar-lokal ini paling menyakitkan Belanda. Mereka dididik, difasilitasi berlebih, dan dipercaya berkuasa menjadi alat penjajah. Setelah merdeka, mereka tetap berkuasa tanpa menggubris jasa Belanda. Merdeka, dimanfaatkan buat "memilih tuan" yang lebih canggih. Juga menyakitkan pribumi, khususnya pejuang kemerdekaan.

Belanda adalah pihak asing yang amat tahu perilaku manusia jajahannya. Seperti orang Spanyol tahu benar Argentina, Brasil, dan lainnya. Atau Inggris tahu benar negara-negara commenwealth. Mereka, penjajah dan yang dijajah, tidak bermusuhan bahkan saling membantu, setidaknya secara psikologis. Nasionalisme Malaysia (di belakangnya
Inggris) dicuatkan Mahathir dengan mengkritik APEC. Sementara ditekan tuan baru, "Nasionalisme Indonesia" menjadi barisan APEC terdepan.

Meski tersakiti, haruskah Indonesia selalu menolak yang berbau Belanda? Bukankah Indonesia itu blessing, berasal dari Hindia Belanda. Memusuhi Belanda justru kerugian. Kesannya sombong, menutup pintu bagi Belanda untuk balas budi. Tertutup peluang Belanda menjadi jembatan Indonesia ke dunia Barat, jembatan peradaban untuk
iptek, diplomasi, sampai bisnis, seperti bekas jajahan lainnya.

Kebutuhan Belanda

Keinginan Belanda untuk berhubungan baik dicurigai. Ini sikap keterjajahan, minderwaardigheids-kompleks. Ambtenaar kebablasan adalah perilaku kompensasi rendah diri. Minder melihat bule lebih tahu Bali daripada Indonesia. Padahal, orang kampung lebih tahu Monas daripada Menteng. Orang kampung tak tahu Indonesia (dan
Menteng).

Belanda membutuhkan Indonesia. So pasti. Mulai sekadar rindu Parijs van Java, sampai ingin melanjutkan kebanggaan masa lalu, negara kecil tetapi mampu menguasai wilayah amat luas, kaya, dan strategis di Asia Pasifik selama 350 tahun.

Breakdown-nya, mungkin ada ribuan kebutuhan Belanda yang hanya bisa terwujud lewat Indonesia. Bila tidak tersalurkan, berpotensi merugikan Indonesia. Dunia memandang, Belanda lebih tahu Indonesia daripada orang Indonesia.

Memenuhi ribuan kebutuhan Belanda mustahil. Tetapi di antaranya pasti ada yang merupakan kebutuhan bangsa Indonesia. Selayaknya rakyat Indonesia memilah dan memilih yang sesuai kepentingan Indonesia merdeka. Hal ini bisa mengurangi sakit hatinya Belanda dengan keberadaan Indonesia merdeka.

Sedianya Ratu Beatrix hadir dalam Peringatan 17 Agustus 1995 di Jakarta, tetapi Parlemen Belanda melarang. Sebaliknya, 1996, veteran Belanda yang pernah bertempur melawan TNI di Jawa Barat mengundang veteran Siliwangi ke markasnya di Ermelo. Letjen (Pur) Himawan Soetanto memimpin 50 veteran memenuhi undangan. Beliau diminta
berbicara di salah satu fraksi Parlemen. Buntutnya, veteran Belanda mendapat santunan tertentu per bulan.

Pakar "berpikir sistemik" (J. Winardi) mengatakan, pendekatan kesisteman harus berakar pada perilaku para pelakunya. Sistem Indonesia Merdeka, harus berakar dari perilaku manusia Indonesia. Belanda amat paham perilaku manusia Indonesia, tetapi beda cara melihatnya.

Indonesia dihantui pahitnya penjajahan sehingga harus menggunakan Pancasila. Sedangkan Belanda merasakan nikmatnya penjajahan. Politik etis van Deventer menyadari kesalahan, dan dibaca Pendiri Negara dalam konteks peradaban, antisipasinya tertulis pada naskah Pembukaan UUD 1945. Persahabatan dua bangsa sudah didesain, meski belum terjabar untuk operasional.

Gerakan budaya

Perlawanan menjadi gerakan budaya, membebaskan dari jiwa keterjajahan. Pahlawan Nasional Hasanuddin, Imam Bonjol, Diponegoro, Teuku Umar, dan lainnya memang pemberontak. Tetapi tahun 1908-1942, tiada lagi pemberontakan. 17 Agustus 1945 adalah wujud gerakan budaya Boedi Oetomo yang menemukan momentum kalahnya Jepang.

Lain halnya paham hukum Belanda. Hindia-Belanda tetap dianggap miliknya. Jepang "meminjam" (rekapitulasi Kalijati 9 Maret 1942) dan mengembalikannya lewat Sekutu, 2 September 1945. Tetapi Indonesia merebutnya, Belanda terpaksa memberikan 27 Desember 1949.

Indonesia sebaliknya. Memanfaatkan hampa kekuasaan (15 Agustus–2 September 1945), rakyat mengintimidasi pemimpin agar negara segera diproklamasikan untuk memastikan Hindia Belanda sah milik Indonesia.

Peristiwa 20 Mei 1908; 28 Oktober 1928; BPUPKI; PPPKI adalah proses peradaban. TNI, RRI, wartawan, pemuda, dan siapapun yang tergerak, merupakan manifestasi gerakan budaya berbentuk pertahanan diri, tidak memberontak.

Sayang Indonesia, tidak konsisten dengan peradaban. Tidak memproduk hukum demi kepastian kebenaran. Pancasila, sejarah, Bhinneka Tunggal Ika, seluruh prasasti, bukan referensi karena eksistensinya tidak diperkuat hukum. Bahkan hingga kini belum ada UU Tanah-air dan Penduduk, dua prasyarat negara.

Wajarlah NKRI terpaksa melepas Sipadan-Ligitan. Itulah kelakuan ambtenaar-republik, pejabat berbaju Indonesia berjiwa "kulinya tuan". Bangsa dibuat tunduk pada hukum kolonial, jauh dari terbentuknya hukum nasional. Semua persoalan Indonesia berakar dari semrawutnya tata pikir (mindset) ini.

Dampak beda persepsi kemerdekaan meliputi tata pikir, perilaku sampai produk hukum pengendali kebijakan Indonesia. Barier psikologis harus dicerahkan untuk memenuhi kebutuhan kedua negara.

Belanda pasti enjoy bernostalgia sambil Agustusan di Parijs van Java (Bandung) dalam suasana Indonesia Merdeka. Indonesia akan memiliki jembatan peradaban ke masa depan, tidak harus lewat pesta kalkun.