2006-06-28

Seni dalam menjalani kehidupan SPIRITUAL

“Temui, kenali dan raih manfaat daripadanya”, slogan ini mungkin telah pernah kita dengar. Mereka yang belajar secara otodidak, akan amat akrab dengan slogan ini. Pembelajaran secara mandiri, menggunakan slogan serupa untuk memperoleh pemahaman.

* Temui; ini mesti kita lakukan secara aktif. Jelas bahwa kita tak dianjurkanuntuk menunggu dan menunggu namun bertindak secara aktif —‘menemui’.

* Kenali; untuk mengenali sesuatu, kita perlu mempersiapkan diri tentang deskripsinya. Berdasar deskripsinya inilah kita mengenalinya.

* Raih manfaat daripadanya; untuk dapat meraih manfaat diperlukan seni tersendiri. Seorang seniman ukir, misalnya, menghasilkan sebuah karya seni yang bermutu tinggi dari sebatang kayu, yang bagi kita hanya sebatang kayu bakar.

YANG BESAR DARI YANG KECIL.

Slogan sederhana ini, bisa saja hanya slogan yang kecil, tanpa makna, dibandingkan slogan-slogan besar yang sering diutarakan oleh para politikus. Namun bagi mereka yang mampu memaknainya dengan baik, dan mengerjakan tugas-tugasnya secara selaras, bisa jadi memperoleh manfaat yang tak terukur dari slogan kecil tersebut.

Slogan tadi hanya salah-satu dari banyak slogan bagus, yang seringkali kita abaikan begitu saja. Untuk menemui sesuatu, diperlukan suatu motivasi yang jelas yang melatar-belakanginya. Motivasi itulah yang menggerakkan. Temuan kitapun akan sesuai dengan motivasi tersebut. Bila yang memotivasinya bersifat keduniaan, tentu hasil yang ditemui juga keduniaan sifatnya.

Tak jarang kita tak mengenali apa yang hendak kita temui, justru ketika kita telah menemuinya. Lucu memang. Tapi mengapa ini bisa terjadi? Ini terjadi karena kita kurang melengkapi diri dengan deskripsi dari yang hendak kita temui itu. Persiapan dalam melakukan senantiasa penting.

Sebagai ilustrasi, disajikan pengalaman berikut. Saya ditelpon oleh seseorang. Setelah saya memperkenalkan diri saya, kamipun berbincang-bincang. Dalam suatu saat perbincangan kami, ia mengatakan “Oh, jadi Andalah si anu itu ya?” Saya berpura-pura tak mengenal si anu, yang disebutkan. “Si anu yang pernah mengatakan hal serupa dengan yang Anda katakan itu”, jelasnya. Kami memang belum pernah bertatap-muka sebelumnya, namun rupanya ia mengenali ciri saya.

Kita tak perlu saling jumpa, namun kita bisa bersahabat. Memang untuk mengenali, banyak cara yang dapat digunakan. Melalui perkenalan fisik yang kasat-indria adalah cara yang paling lumrah, dan juga rendah tingkatannya.

Mengenali melalui ‘pemikiran’, memiliki tingkatan yang lebih tinggi. Yang serupa ini bahkan bersifat lebih ajeg, dan lebih tahan terhadap kecenderungan lupa. Tak jarang perkenalan fisik, malah membalik pandangan kita dari semula. Ini membuktikan bahwa betapa lekatnya pandangan kasat bagi kebanyakan kita.

PANDANGAN KASAT SEBAGAI PENGHALANG.

“Pandangan kasat adalah halangan terdepan yang mesti dilalui dalam konteks spiritual”, demikian seorang penekun pernah mengungkapkan pada saya. Lebih jauh ia menambahkan, “Dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat mengentaskan pandangan kasat ini, apalagi bagi mereka yang telah terlanjur selama sebahagiaan besar usianya menggunakan pola serupa”.

Rupanya, apa yang dikatakan juga terjadi pada saya. Dan sayapun sependapat dengannya tentang paradigma ini. Kita, memiliki bakat ‘bawaan’ masing-masing. Dari tiga putra-putri saya misalnya, hanya satu yang berbakat menyanyi, dua yang berbakat menggambar dan drama dan satu yang menunjukkan minat besar terhadap alam dan makhluk hidup.

Bakat, bisa dideteksi pada usia yang amat dini. Justru dalam usia inilah mereka masih murni, belum dipoles dan terkontaminasi berbagai hal. Para akhli, menyarankan agar kita menemu-kenali bakat-bakat unggul dari seorang anak, justru sedini mungkin, untuk dibimbing secara profesional guna pengembangannya. Terlampau banyak faktor yang menghalangi pandangan kasat untuk dapat melihat keberadaan sesuatu secara lebih hakiki. Faktor-faktor penghalang tersebut, bisa dari luar maupun dari dalam. Penghalang dari dalam inilah yang justru amat sulit dientaskan.

PENGARUH KESAN AWAL PADA KECENDERUNGAN SERTA BAKAT.

Kesan awal juga amat berpengaruh dalam melihat sesuatu secara lebih hakiki. Kesan, seringkali mengotori pandangan kita. Bilamana kita tak pernah merasakan manisnya gula, kita tak akan pernah dapat mengenali bahwa apa yang kita kecap itu adalah gula. Bila untuk pertama kali kita mengenal rasa kopi dari kopi bali asli misalnya, maka kopi yang tak asli ataupun kopi yang bukan kopi bali, akan kita kenali dengan mudah melalui aromanya. Demikianlah pengaruh dari kesan awal, terhadap pengenalan dan penilaian kita. Darimana kesan awal ini diperoleh?

Kesan awal kita peroleh ketika masa kanak-kanak di lingkungan dimana kita dilahirkan. Nah, dari sinilah kita mengembangkan kepribadiaan menjadi manusia mandiri. Bila terlahir di lingkungan pedagang, besar kemungkinannya kita memiliki ‘naluri bisnis’ yang lebih tinggi dari rata-rata orang. Demikian pula bila kita terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan spiritual-religius. Kecenderungan kita terhadap yang bersifat spiritual-religius akan relatif besar ketimbang yang lainnya.

Terlepas dari bakat bawaan, memperkenalkan secara dini moral-etik pada anak-anak, akan membentuk kecenderungan positif padanya. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa, ini bukanlah faktor yang bersifat keturunan. Sifat ‘ksatrya’ tidaklah diturunkan, demikian pula ‘ke-brahmana-an’ atau yang lainnya. Kenapa seseorang terlahir dalam lingkungan tertentu? Karma Phala dan Samsara adalah ajaran yang memberikan jawaban yang jelas tentang itu.

KEHIDUPAN TERDAHULU, PENENTU BAKAT BAWAAN.

Mereka yang dalam usia amat dini telah menunjukkan bakat-bakat spiritual, seringkali membuat kita terkagum-kagum. Kekaguman mana juga seringkali mengarahkan kita pada pandangan kurang rasional sampai ketahyulan. Karena kita percaya pada hal-hal yang ir-rasional, maka apapun yang kita amati kita kaitkan dengan itu. Inilah awal dari penipuan-penipuan bermodus spiritual yang banyak kita jumpai belakangan ini. Penipuan-penipuan serupa ini, dimungkinkan justru oleh kita sendiri. Di kalangan umat beragamapun penipuan serupa ini berulang-ulang.

Bila kita memandangnya dengan jernih, akan terlihat kalau sebetulnya hal-hal mengagumkan itu masih merupakan kewajaran. Bakat-bakat khusus senantiasa kita temui, dalam berbagai bidang kehidupan. Bagi yang kurang memahami Samsara, tentu saja ini merupakan sesuatu yang amat sangat aneh. Bagi yang baru tersentuh ajaran pada kehidupan ini, tentu masih perlu melanjutkan evolusi batinnya setahap demi setahap. Apabila dalam perjalanannya kematian datang menjemput, maka perjalanan akan dilanjutkan lagi pada kehidupan mendatang. Tergantung pada tingkat pencapaiannya kini, lanjutannyapun di awali dari berbagai tingkatan. Akan amat bersyukur bila kita terlahir di kalangan penekun spiritual. Bila tidak, tentu kita mesti merintisnya dari fase yang sangat awal lagi, sementara umur amatlah singkat.

“THE TOTAL ECLIPSE OF THE WORLD”.

Whenever dharma declines and the purpose of life is forgotten, I manifest myself on earth. I am born in every age to protect the good, to destroy evil, and to re-establish dharma. ~ Bhagavad Gita IV:7-8.

Manusia menjalani hidupnya sesuai dengan pandangan-hidup yang dianutnya, terlepas dari agama apapun yang dianutnya secara formal. Kalau mau dikatakan, maka pandangan-hidup inilah sebetulnya “agama pribadi” seseorang.

Sekali sebentuk pandangan-hidup diadopsi—untuk kemudian—dianut oleh seseorang, kalaupun ia berniat, maka ia akan menemukan kesulitan besar untuk merubahnya. Ia boleh jadi diharuskan merubah haluan 180 derajat; samasekali berbalik dari sebelumnya, yang juga berarti merubah secara menyeluruh prinsip-hidup dan pola-pikir yang selama ini dianutnya. Ia seolah-olah menjadi “manusia yang baru” samasekali, dengan jalan-hidup yang baru pula.

Oleh karenanya, sebelum Anda terlanjur mengadopsi sebentuk pandangan-hidup tertentu, berhati-hatilah! Jangan asal adopsi, hanya lantaran itu kelihatannya baik dan menyenangkan buat dianut dan dijalani. Padahal itu hanya mengantarkan Anda pada kepapaan dan kenestapaan saja.

Pada sisi lain, gaya-hidup materialistik dan hedonistik telah sedemikian merajalelanya di dunia. Ia terus kian merebak dan meluas bersamaan dengan semakin terbukanya pergaulan global. Ia telah dinobatkan oleh banyak orang sebagai gaya-hidup global nan modern. Siapapun yang tidak mengadopsinya akan dicap kolot, puritan, kampungan, atau sejenisnya. Kalangan muda, yang masih labil secara mental-psikologis, tentu tak akan kuasa menerima cap seperti ini. Sebagai akibatnya.........

Sebuah gaya-hidup, sebetulnya adalah ekspresi dari budaya-hidup. Ia bukan sekedar trend. Secara sangat halus dan tersamar, ia akan membawa serta budaya-hidup dari mana ia dilahirkan. Sementara itu, suatu budaya-hidup, lahir dari suatu prinsip-hidup tertentu, dimana prinsip-hidup itu sendiri bersumber dari pandangan-hidup yang dianut oleh komunitas asal dari gaya-hidup itu. Apa artinya ini?

Ini berarti, mengadopsi suatu gaya-hidup tertentu, cepat atau lambat akan mengantarkan seseorang atau suatu komunitas kepada pandangan-hidup asalnya itu. Al hasil, cepat atau lambat, disadari atau tidak, materialisme dan hedonisme akan menjadi pandangan-hidup global, dengan menyisihkan ke pojok-pojok sempit dan temaram isme-isme lainnya. Sekarang saja, fenomena ini sudah kian tampak jelas bukan?

Dan ketika saat itu tiba, maka agama-agama memantapkan dirinya sebagai sekedar formalitas; apalagi di bumi Indonesia yang tidak mentolerir atheisme. Bagi sementara agamawan dan budayawan, ini tentu berarti malapetaka besar, berarti gelombang tzunami-global yang teramat sangat dahsyat. Betapa tidak; suatu faham dan budaya asurik (keraksasaan) yang diperangi
habis-habisan dengan amat sangat gigihnya oleh para Nabi umat manusia, para Mesias, para Avatara, para santo, para wali, para muni, para siddha, para saddhu, para orang-orang bijak nan berhati-suci, kini bangkit lagi dengan kekuatan dahsyat yang mengglobal. Ia bangkit dan siap melahap dan menghancur-lumatkan apapun yang berdiri di hadapannya, apapun yang mencoba menghalangi dominasinya, peradaban dan budaya adiluhung manapun yang tidak kompromistis dengannya. Seluruh sendi kehidupan umat manusia akan disusupi dan dijelmakan kembali sesuai dengan tata-nilai dan normanya. Bukankah ini amat sangat mengerikan?

Sedihnya, kelihatannya bencana ini tiada terelakkan. Terlebih lagi kalau pucuk-pucuk pimpinan dan garda-garda terdepan dari masyarakat religius justru saling bersaing, berseteru, gontok-gontakkan dan hendak saling memusnahkan satu dengan yang lainnya.
Adakah materialisme dan hedonisme benar-benar akan menjadi faham global tunggal bagi segenap manusia bumi? Hanya Sang Kala-lah yang akan menjawabnya. Dan pada saatnya nanti, lagu “The total eclipse of the heart” akan digubah-ulang dengan judul “The total eclipse of the World”.

Melatih Daya Jiwa

Jika Anda pernah melihat seorang pemuda yang rutin melatih otot-otot tubuhnya di pusat kebugaran, Anda akan takjub melihat betapa kekar otot-otot tubuhnya: kuat dan perkasa. Begitulah hasilnya jika seseorang rajin melatih otot-otot tubuhnya. Sebaliknya jika seseorang tidak pernah melatih atau bahkan menggunakan ototnya, otot-ototnya bukan saja tidak berkembang tapi bisa jadi malah mengalami pengecilan atau antropi: akhirnya tidak bisa berfungsi secara normal.

Bagaimanakah dengan otot-otot jiwa? Tak ubahnya seperti otot-otot tubuh, otot-otot jiwa pun bisa dilatih. Seorang anak yang sering mengasah otaknya dengan mengerjakan soal-soal matematika misalnya, 'otot-otot otaknya'-nya pun akan berkembang, maka dia tumbuh menjadi anak yang pintar.

Dalam literatur kebatinan Jawa, disebutkan terdapat empat macam nafsu yang menyertai perjalanan hidup manusia: luamah, amarah, supiyah, dan mutmainah. Keempat nafsu tersebut adalah daya-daya jiwa yang selalu bisa dilatih agar semakin besar kekuatannya. Keempat nafsu tersebut ibarat pohon: pohon mana yang paling sering Anda sirami, Anda kasih pupuk, itulah yang akan tumbuh menjadi pohon yang paling besar, sehingga menaungi pohon-pohon lainnya: sehingga pohon-pohon lainnya pun akan kehilangan daya kekuatannya atau bahkan mati tidak berkembang.

Daya-daya tersebut bukan saja bisa tumbuh dan berkembang, tapi juga memiliki alamnya sendiri-sendiri. Nafsu amarah, misalnya, berada di alam yang gelap dan panas, orang menyebutnya neraka. Nafsu mutmainah berada di alam yang terang dan sejuk, orang menyebutnya surga.

Seseorang yang cenderung mengeluh dan menghitung-hitung kesalahan orang lain, dia sedang melatih daya amarah-nya, sehingga daya itu pun makin lama makin besar sehingga mendominasi sikapnya dan perilakunya sehari-hari, dan akhirnya menaunginya dengan sifat yang terdapat di dalam daya amarah, yaitu gelap dan panas. Sebaliknya seorang yang selalu mensyukuri apapun yang ia terima, dan menghitung-hitung kebaikan orang lain: dia sedang melatih daya-daya mutmainah-nya, sehingga ibarat pohon yang terus disirami dan diberi pupuk akan tumbuh menjadi pohon yang besar, dan mendominasi sikap dan perilakuknya dan menaunginya dengan sifat di dalam daya mutmainah: terang dan sejuk.