2006-08-22

IF GOD HAD A NAME

If God had a name what would it be?
And would you call it to his face?
If you were faced with Him in all His glory
What would you ask if you had just one question?

What if God was one of us?
Just a slob like one of us
Just a stranger on the bus
Tryin' to make his way home?

One of Us
Joan Osborne

Terus terang sama dengan Agnes Monica saya juga bertanya-tanya “Di mana letak surga itu?”. Konon Surga ada di atas sana, sehingga sering digambarkan di film-film atau di sinetron-sinetron, kalau ada anak kecil mencuri dan ia merasa Tuhan tahu maka dia akan melihat ke atas, begitu pula jika seseorang memohon pada Tuhan, maka dia akan mengarah atau menengadahkan tangan ke atas. Tapi tak semua juga seperti itu. Ada juga yang menganggap bahwa Tuhan (di surga) itu terletak pada penjuru mata angin tertentu. Apapun penjelasannya, tetap saja membingungkan, karena bumi itu bulat dan semua penjelasan tentang Tuhan, banyak muncul ketika orang masih meyakini bumi itu flat. Jika bumi flat, mudah untuk membuat patokan atas-bawah atau arah mana, tetapi tak demikian halnya jika bumi itu bulat.

Pertanyaan lain lagi muncul. Jika Tuhan itu berada dalam transendensinya nun jauh di surga sana, lalu mengapa Ia diyakini juga sebagai ada di mana-mana? Jika Tuhan ada di mana-mana, tidakkah surga juga ada di mana-mana? Jika surga ada di mana-mana, lalu kenapa banyak orang masih berpaling dan tak mau menghadapi dunia yang saat ini dijalaninya dan berharap pada dunia [surga] yang nun jauh di seberang sana?

Kita akan mencoba bermain-main dengan penjelasan akan hal ini dengan pertama-tama menyimak apa yang dikatakan Gilles Deleuze dan Felix Guattari dalam bukunya “What is Philosophy?’. Deleuze dan Guattari menjelaskan bahwa yang bersifat transenden, vertikal, selestial, mesti selalu mengalah dan tunduk pada suatu jenis rotasi agar dapat tergoreskan pada tataran Alam-pemikiran imanen. Entitas yang vertikal selestial mendarat pada dataran pemikiran melalui cara spiral. Di sini berpikir mengimplikasikan proyeksi sesuatu yang transenden pada tataran imanensi yang datar, horizontal.

Transendensi sebenarnya “kosong” pada dirinya sendiri, kepenuhannya terjadi ketika ia mampu turun jauh dan melintasi berbagai level-level hirarkis yang terproyeksikan secara bersamaan pada wilayah suatu tataran, yaitu suatu dimensi yang berkorespondensi dengan suatu gerakan tak terbatas. Tuhan yang transenden akan tetap kosong, atau setidaknya lenyap (abskonditus), seandainya tidak diproyeksikan pada tataran imanensi penciptaan di mana ia menelusuri tahapan-tahapan teofaninya. Transendensi yang diproyeksikan pada tataran imanensi, meratakan imanensi tersebut dan menghuninya dengan imaji simbolik.

Imaji simbolik inilah yang selaras dengan penjelasan mengenai arketipe dari Jung. Ada banyak arketipe dan imaji simboliknya: Anima [Sisi Feminin kehidupan], Animus (Sisi Maskulin Kehidupan), Wise Old Man, Trickster [Si Pencuri, si penerjemah-penjaga jembatan antara yang ilahiah dan manusiawi atau kerap disimbolkan juga dengan Dewa Hermes], Divine Child, The Hero dan masih banyak lagi. Bisa jadi keragaman imaji simbolik inilah yang melambangkan suatu entitas atau energi atau sosok yang Ilahiah itu. Sesuatu yang sebenarnya bukan kosong dalam transendensinya di awang-awang sana, namun hadir menemami Kita. Entah dalam kisah, entah dalam penampakan suatu simbol tertentu, atau bahkan menyapa dalam mimpi-mimpi Kita.

Jung melihat religi sebagai suatu mitologi. Dalam pandangan Jung, semua religi, termasuk Kristiani [dan agama-agama “resmi” lain] adalah suatu Collective Mythologies. Tidak ada esensi yang riil di sini, tetapi bisa mempengaruhi personalitas manusia dan memberikan solusi bagi persoalan yang dihadapi, seperti apa yang dia tulis: "Religi adalah sistem untuk menyembuhkan penyakit psikis. Ini menunjukkan bahwa dalam realitas ini ada dua esensi, yaitu esensi real dan unreal. Tidak semua hal bisa kita nalar dengan esensi-esensi yang real.

Esensi yang bersifat unreal mengambil posisi sebagai suatu determinan yang sulit untuk dinalar menggunakan logika. Kendati demikian, kita dapat merasakan kehadiran unreal essence tersebut. Secara holistik, kita dapat menempatkan unreal essence sebagai bagian dari energi besar di alam semesta, namun energi itu hanya bisa kita kenali ketika kita masuk ke dalam alam bawah sadar personal. Energi yang memiliki keterkaitan dengan penjelasan mengenai religi yang mempengaruhi personalitas dan perjalanan [pencarian] hidup yang sifatnya idiosinkretis.

James Redfield dalam Novel Celestine Prophecy menjelaskan mengenai energi ini. Pada Wawasan pertama Celestine Prophecy ada penjelasan bahwa manusia hendaknya menyadari bahwa kehidupan merupakan perjalanan spiritual yang dibimbing oleh kebetulan-kebetulan misterius. Bahwa ada sesuatu yang mesti disadari dan dimaknakan di balik kejadian-kejadian kebetulan dalam hidup kita. Suatu ketika, kita mungkin punya firasat atau intuisi mengenai sesuatu yang ingin kita lakukan, arah yang ingin kita tempuh, dan meragukan bahwa hal itu mungkin terjadi. Namun, ketika kita telah agak lupa tentang hal itu, tiba-tiba kita bertemu seseorang atau membaca sesuatu atau pergi ke suatu tempat yang ternyata menuntun kita ke arah kesempatan yang kita impikan.

Kebetulan-kebetulan ini sangat idiosinkretis yang berbeda antara satu orang dengan orang lain, namun juga sekaligus sinkronik, karena pada saat yang sama kebetulan-kebetulan itu menghubungkan jalan hidup orang yang satu dengan orang yang lain. Kebetulan-kebetulan misterius yang terjadi pada orang yang satu, membuatnya bertemu dengan orang lain yang juga melalui sejumlah kebetulan untuk pertemuan itu. Di sinilah salah satu misteri alam yang tak bisa dijelaskan oleh logika pemikiran empiris.

Jika kita hanya menganggap kebetulan-kebetulan itu adalah kebetulan biasa, karena tak bisa melihat ‘kemisteriusannya’ maka hidup kita akan mengalir begitu saja. Sebaliknya, kita akan tahu bahwa Tuhan ada di alam semesta (bukan dalam sejarah agama-agama) dan hadir melalui kebetulan-kebetulan itu untuk menjawab keinginan kita, hanya jika kita mampu merefleksikan kebetulan-kebetulan misterius itu dan mengambil determinasi atasnya. Di sinilah sosok Ilahi itu hadir dan menjawab apa yang diiinginkan manusia dalam perjalan pencarian kepenuhan dirinya.

Lebih jauh, dalam perspektif pandang seperti ini, maka tak ada yang namanya “kebetulan” di dunia ini. Semua kejadian membawa pesan. Mimpi-mimpi kita pun merupakan sesuatu yang membawa pesan bagi perjalanan hidup masing-masing dari Kita. Bahkan setiap perjumpaan, selalu membawa pesan. Saya menyampaikan pesan pada anda, anda menyampaikan pesan pada saya. Setiap perjumpaan bukan kebetulan, entah kita berjumpa dalam suasana damai atau bertengkar. Bahkan saat anda membaca tulisan saya inipun, bukanlah suatu kebetulan. Masalahnya kemudian, sudahkah Kita memaknakan atau menyelami hal-hal yang nampaknya biasa ini? Saya jadi teringat Heidegger yang mengajak untuk melihat kedalaman dari hal-hal yang dangkal.

Nah, sebagai penutup tulisan ini, ketimbang membuat kesimpulan yang rumit atau ‘sophisticated’, saya lebih suka kembali pada perenungan mengenai: “Jangan-jangan Tuhan adalah salah satu di antara Kita?” atau mencoba menjawab pertanyaan Agnes Monica: “Di mana letak surga itu?’. Mungkin perenungannya makin menarik jika menyimak lanjutan lirik lagu “One of Us”-nya Joan Osborne berikut ini:

If God had a face what would it look like?
And would you want to see if, seeing meant
That you would have to believe in things like heaven

Khasiat Ayat Kursi

Keistimewaan al Qur'an antara lain adalah bahwa membacanya dinilai sebagai ibadah meski tidak faham artinya, berbeda dengan doa yang harus difahami artinya.. Anjuran untuk bertadarus banyak sekali dijumpai dalam ajaran Islam. Al Qur'an sendiri menyebut dirinya sebagai hudan (petunjuk), syifa (obat), rahmah (wujud kasih sayang), zikr (peringatan), tibyanan (penjelasan). Disamping itu hadis Nabi banyak menyebut keutamaan dan khasiat membaca surat atau ayat
tertentu. Oleh karena itu tidak aneh jika muncul persepsi orang Islam yang menempatkan ayat al Qur'an bagaikan mantra. Hadis tentang khasiat ayat Kursi misalnya menyebutkan, : Jika ayat Kursi dibaca di rumah, maka syaitan terhalang tiga hari dan tukang sihir terhalang 40 hari tidak bisa masuk ke dalamnya. Hadis lain menyebut bahwa barang siapa membaca ayat Kursi setiap habis salat fardu maka ia layak masuk sorga, dan hanya orang jujur dan ahli ibadah yang bisa
melakukannya, barang siapa yang membacanya setiap akan tidur maka Allah memberikan rasa aman kepada dirinya dan kepada tetangga di sekelilingnya. Nabi sendiri pada waktu perang Badar selalu membaca ayat ini, terutama pada bagian ya Hayyu ya Qoyyum.

Kandungan Makna Ayat Kursiy

Terjemahan ayat Kursiy adalah sebagai berikut : Allah, tiada Tuhan selain Dia, yang Hidup dan terus menerus mengurus (makhluk Nya), tidak mengenal ngantuk, apalagi tidur, bagi Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi, tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin Nya, Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan apa-apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali apa yang dikehendaki Nya, Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah tidak repot mengurusi keduanya, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dari ayat itu sekurangnya ada empat hal bisa didalami maknanya. (1) bahwa Allah itu hayyun dan qayyum, yakni hidup dan aktip mengurusi alam semesta (2) Allah memiliki dan menguasai langit dan bumi dengan segala isinya, (3) Allah mengetahui se detail-detailnya tentang apa dan siapa, dan (4) Manusia tidak dapat menggapai ilmu Allah kecuali sekedar yang dikehendaki oleh Nya. Diantara yang penting untuk difahami dari kandungan ayat Kursiy adalah batasan ilmu manusia dan kehendak Allah.

Tentang Ilmu Manusia

Manusia adalah makhluk yang berfikir, merasa dan berkehendak. Pengetahuan yang dimiliki manusia datang dari berbagai jalan, instink, indera, fikiran (logika) dan intuisi (ilham). Tingkat
pengetahuan manusia sangat beragam, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Tingkatan pengetahuan manusia yang tertinggi juga ada yang bersifat rational dan falsafi, dan ada yang bersifat intuitip, "gaib" atau suprarational. Meski demikian sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang terbatas, yang tidak sempurna, ilmu manusia juga terbatas, karena manusia tidak bisa menghindar dari distorsi-distorsi; instink, indera, pemikiran, maupun distorsi intuisi. Disamping problem distorsi, ilmu manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Apa yang telah lalu banyak yang luput dari pengamatan manusia, apa yang akan terjadi di masa depan, meski
manusia bisa memprediksi dengan menggunakan hukum sunnatullah, atau dengan ramalan "gaib" tetapi ruang lingkupnya sangat terbatas. Apa yang akan terjadi di muka lebih banyak merupakan area kegelapan bagi ilmu manusia. Semakin banyak hal yang diketahui manusia, maka semakin tahu ia bahwa hal yang belum diketahui justeru lebih banyak lagi.

Adapun ilmu Tuhan tak terbatasi oleh ruang dan waktu, oleh karena itu tidak ada satupun fenomena yang luput dari akses Tuhan, yang dulu, yang sedang terjadi ataupun yang akan datang, semuanya berada dalam ilmu Tuhan. Al Qur'an mengibaratkan, selembar daun yang
jatuhpun (yang dulu jatuh, yang sedang jatuh, dan yang akan jatuh nanti) kesemuanya berada dalam akses Tuhan. Dalam Al Qur'an, disebutkan bahwa Tuhan mengetahui yang nampak dan yang tidak nampak (`alim al ghoibi wa as syahadah) dan senantiasa mengetahuinya (`allam al ghuyub). Tuhan menurunkan ilmu Nya kepada manusia melalui dua jalan, pertama melalui taqdir atau qadar dalam sunnatullah yang bisa dipelajari hukumnya oleh akal, kedua melalui ilham dan wahyu.

Kehendak Allah

Kalimat al hayyu al qayyum mengandung arti bahwa Allah itu hidup dan selalu aktip mengurusi makhluknya, artinya Tuhan mempunyai kehendak dan tidak ada satupun persoalan yang terlewat atau terlupakan. Semua ciptaan Tuhan, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat makna
didesain dengan tujuan dan maksud. Al Qur'an mengajarkan doa, Robbana ma kholaqta haza batila, ya Tuhan, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia tanpa makna. Hal-hal yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan manusia, kesemuanya dimaksud positip, yakni menguji manusia keputusan apa yang akan diambil ketika mengalaminya, langkah positip atau negatip (liyabluwakum ayyukum ahsanu `amala). Secara teologis, krisis multi dimensi yang sedang kita alami juga tak lepas dari kehendak Allah mewujudkan taqdir sunnatullah Nya, dan menguji bangsa ini respond apa yang akan diambil.

Dari Ilmu Kalam, lahir dua pandangan mensikapi kehendak Allah, yaitu faham Jabbariah (predestination) dan Qadariyah (free will). Yang pertama memandang bahwa kehendak Allah akan berjalan secara mutlak sehingga manusia tidak memiliki kekuasaan atas kehendaknya, manusia bagaikan wayang yang didalangi Tuhan. Faham kedua (qadariyah) memandang bahwa manusia memiliki kekuasaan untuk menentukan perbuatannya, meski harus mengikuti taqdir sunnatullah Nya. Yang pertama menekankan doa Kepada Tuhan, karena amal tidak menentukan, yang menentukan adalah keputusan Tuhan, orang masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena rahmat Tuhan.. Yang kedua menekankan bekerja, karena keputusan Tuhan akan didasarkan pada sifat adil Nya, Tuhan tidak mungkin menyia-nyiakan orang yang beramal.. Dua faham ini melahirkan faham kompromi, yakni faham sunny, yang menekankan
bahwa manusia wajib berikhtiar, tetapi taqdir sepenuhnya milik Allah. Wallohu a`1amu bis sawab.