2006-06-08

Semar dan Socrates

Sejak kecil saya gemar nonton wayang kulit. Kisah-kisahnya sangat mengesankan dan heroik. Dan di dalamnya juga terdapat banyak pelajaran spiritual yang bisa kita petik. Wayang kulit adalah bahasa pralambang, tamsil atau isyarat. Watak jujur misalnya, dipersonafikasikan sebagai tokoh Bima Sena, atau Arya Werkudara, kstaria gagah perkasa berpostur raksasa, dan tidak bisa basa, tidak bisa menggunakan bahasa Jawa krama yang halus. Dia hanya bisa ngoko, atau menggunakan bahasa Jawa kasar. Bagi dia, kejujuran lebih penting daripada sekedar halus atau berbasa-basi. Sedangkan yang kita jumpai dalam budaya kita justru kebalikannya: lebih penting halus daripada jujur.

Kebalikannya adalah Buta Cakil: ini lambang kemunafikan. Buta Cakil adalah satu-satunya buta, atau raksasa dalam pewayangan, yang memiliki postur tubuh manusia atau ksatria. Kulitnya halus mulus seperti kulit manusia, bahkan pakaiannya batik seperti pakaian seorang priyayi, senjatanya pun keris, ini juga senjata para ksatria... hanya saja ia bermuka raksasa. Ia melambangkan makhluk-makhluk munafik: yang berpenampilan manusia, tapi sejatinya adalah raksasa buas pemakan manusia. Dan akhir lakon Buta Cakil selalu sama: dia mati berdiri tertusuk kerisnya sendiri.

Wayang kulit juga merupakan catatan perjalanan spiritualitas orang Jawa sendiri. Sebelum masuknya agama Hindu-Budha ke tanah Jawa, orang Jawa sudah menyembah Tuhannya sendiri yaitu Sang Hyang Taya: Dia Yang Tak Dapat Dibandingkan Dengan Segala Sesuatu. Sedangkan wayang kulit bukan produk Jawa 100%. Ceritanya diimpor dari India: Mahabharata dan Ramayana. Maka dewa-dewa Hindu pun menghiasi pakeliran wayang kulit: Bathara Brahma, Wisnu dan Bathara Guru. Dan pada zaman Islam, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga wayang kulit pun di-Islamkan. Dewa-dewa Hindu dianggap sebagai anak-anak keturunan Nabi Adam. Dan senjata ampuh milik Prabu Yudhistira kalimasada, yang aslinya adalah kalimahosadha, diartikan sebagai Kalimat Sahadat.

Yang menarik dalam zaman Islam ini adalah tokoh Yamadipati: dewa pencabut nyawa yang berpenampilan seperti ulama, dengan jubah panjang, sorban, dan janggut panjang. Menurut Agus Sunyoto, dalam novelnya Syaikh Siti Jenar (LKiS 2003), tokoh Yamadipati ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga untuk menggambarkan para ulama gadungan yang bersedia diperbudak oleh Sultan Trenggana untuk menebarkan kematian dimana-mana demi membasmi musuh-musuh politiknya.

Perjumpaan Demak Islam dengan Portugis yang beragama Kristen juga meninggalkan catatan dalam dunia pewayangan, yaitu seorang tokoh bernama: Dewa Srani (dari kata serani atau Nasrani). Dewa Srani digambarkan sebagai seorang dewa di kahyangan, dengan muka berwarna putih, anak Bathari Durga yang berkeinginan merebut kerajaan Prabu Yudhistira. Kehadiran Dewa Srani ini bukan saja menggambarkan kehidupan politik di Nusa Jawa pada masa itu, tapi bahkan merambah ke isu theologis: yaitu polemik khas Islam-Kristen tentang ajaran Tauhid (keesaan Tuhan): dalam sebuah lakon carangan misalnya, diceritakan bahwa Dewa Srani berusaha merebut senjata Prabu Yudhistira yang sangat ampuh yaitu kalimasada atau Kalimat Sahadat.

Namun tokoh yang paling sakral dalam dunia pewayangan adalah Semar: dewa asli Jawa. Ia digambarkan sebagai seorang manusia biasa, bahkan seorang rakyat jelata, abdi yang setia... namun ia tidak mau tunduk-sujud menyembah kepada siapapun, tidak kepada raja-raja kaya, tidak pula kepada dewa-dewa di kahyangan. Misinya murni untuk menjaga harmoni semesta raya. Dan demi mengemban tugasnya itu ia kalau perlu mendamprat dewa-dewa di kahyangan dan mempermalukan mereka. Semar tak pernah takut pada para dewa. Ia berperan di Nusa Jawa seperti halnya Socrates di Yunani. Dialah yang menyerukan pada penduduk di Nusa Jawa agar tidak sujud menyembah kepada apapun atau siapapun kecuali Sang Hyang Taya: Ia Yang Tak Dapat Dibandingkan Dengan Segala Sesuatu. Bahkan Agus Sunyoto dalam novelnya Syaikh Siti Jenar (LKiS, 2003), menyebut Semar (Dyah Hyang Semar) sebagai nabinya orang Jawa pada jaman purbakala yang menyampaikan ajaran Tauhid.