2006-06-29

Tuhan Telah Mati.

Membaca judul itu mungkin ada yang terlonjak dari kursinya. Artikel apaan lagi ini? Suatu hujatan barukah? Bukan! Itu adalah kata-kata Friedrich Nietzsche seorang nihilis dari negeri Jerman ‘tempo doeloe’ (1886 – jadi 120 tahun yang lampau).

Tetapi Nietzsche tidak sendirian. Seorang biksu tua arif Zen juga menasihati para muridnya: “Bila kamu bertemu Buddha di jalan, bunuhlah dia!”

Umat Yahudipun berteriak-teriak: “Salibkanlah (baca: bunuhlah) Dia; salibkanlah Dia !” Imam Agung Kayafas juga bernubuat: “...lebih berguna bagimu, jika satu orang ( baca: Yesus) mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa kita binasa.”

Sampai beberapa waktu yang lalu saya juga berpikir bahwa kata-kata itu adalah suatu hujatan luar biasa. Tetapi kemudian saya mendapat semacam pencerahan. Ah, mungkin ada benarnya juga kata-kata Nietzsche itu. Lho kok? Bagaimana itu mungkin?

Coba perhatikan ulah kaum berjubah-berkopiah putih serta berjenggot kambing yang menghancurkan kedai kopi yang dianggap sarang maksiat sambil membawa kelewang panjang terus berteriak-teriak: Allah Mahabesar. Bukankah Tuhan mereka itu berada di ujung bibir mereka... Minimal Allah masih berada di dalam batok kepala mereka. Selama Allah masih bermukim di sana maka ‘vandalisme’ seperti itu akan terus terjadi di mana-mana, baik di dalam maupun di luar negeri.

Pemahaman manusia tentang Tuhan merupakan “seberkas memori” yang terbentuk dari waktu ke waktu; mungkin juga sudah mulai semenjak balita. Tuhan itu seperti seorang pak tua yang berjubah putih, beruban dan berjenggot panjang yang putih. Tuhan itu suka mengganjar orang baik di surga dan memanggang orang jahat di neraka jahanam. Semua “konsep manusia” (bakalan banyak yang ngamuk lagi kalau saya sebut ‘mythos’) tentang Tuhan itu tidak ada satupun yang sama, apalagi yang sempurna karena semuanya defektif. Tanyakan kepada 100 orang Katolik dewasa maka di antara mereka anda akan menemukan juga penganut ‘monofisit’ dan ‘patripassionis’ yang terbentuk secara tanpa sadar; pemahaman ajaran ‘trinitartian’ juga beraneka ragam dan terselubung di balik kata “misteri yang tak terpahamkan” lewat kisah klasik Santo Agustinus dan anak kecil yang main pasir dan membuat sumur kecil di tepi pantai. “Memetika” ini diturunkan dari generasi ke generasi dengan bentuk yang hampir selalu mirip atau sama.

“Bila Tuhanmu belum mati di kepalamu, maka Ia tidak mungkin bangkit dan hidup di dalam hatimu dan Bila Tuhanmu tidak hidup di hatimu, maka mustahil akan ada karya kasih lewat tangan-tanganmu.”

Bila Tuhan masih bersemayam di kepala, maka manusia masih suka berdebat ngotot soal (ilmu dan teori) agama. Bahkan membunuh orang pun mau atas nama agama atau untuk membela nama baik Tuhan. Walah, walah... Tuhan kok pakai dibela segala. Memangnya Dia tidak sanggup membela diri-Nya sendiri? Kalau sampai Tuhanpun tidak sanggup membela Diri-Nya lalu siapalah manusia itu sehingga merasa mampu untuk membela Dia dengan darah manusianya?

Tetapi bila Tuhan sudah hidup di dalam hati - alih-alih di kepalanya, maka orangnya menjadi lebih tenang, lebih kalem, dan tidak gemar lagi ngotot berdebat atau berteriak-teriak di jalanan atau berdemo-ria sambil mengacung-acungkan tinju.

Namun, proses itu tidak sekali jadi. Tidak ada yang namanya jalur tol. Tidak ada yang langsung jadi seperti ‘mie instant’. Tuhan baru dihayati sebagai yang bertahta di dalam hati manusia bila terlebih dahulu ia telah membunuh egonya sendiri. Ia tidak lagi berkata “God is dead”, tetapi “Ego is dead”. Suatu saat ia mulai menyadari bahwa Tuhan benar-benar bersemayam di dalam relung hatinya yang paling dalam – kawasan “the most most sacred place” – atau tempat “sacrosanctum” pribadinya. Tuhan bisa masuk ke situ karena ia telah menjawab ketokan pada pintu hatinya yang handelnya hanya bisa dibuka dari sebelah dalam. Suatu saat ia mulai berdialog dengan Tuhannya yang immanen dan tidak berteriak secara vokal (kalau perlu pakai megaphone) kepada Tuhannya yang transenden, yang ‘nun jauh di sono’ entah di luar tapal batas antariksa yang sejauh mana... Tuhannya yang transenden kini sudah mati sehingga ia mulai berkomunikasi dengan Tuhannya yang immanen. Lalu Tuhannya akan menuntun setiap langkahnya dan “membawanya kepada seluruh kebenaran.

Satu Jiwa, Banyak Wujud

Kebutuhan kita sekarang ini bukanlah Satu Agama, melainkan kesaling-hormatan dan kesaling-toleranan dari para penganut agama-agama yang berbeda-beda. Kita bukannya ingin mencapai tataran mati, namun kesatuan di dalam keaneka-ragaman —unity in diversity. Jiwa dari (semua) agama adalah Tunggal namun mereka dibungkus dalam banyak kemasan. Kebenaran sejati bukanlah milik eksklusif dari satu kitab suci saja.

Wujudnya banyak, namun Jiwa yang dikabarkannya hanya satu. Bagaimana bisa ada ruangan yang berbeda-beda —sebagai tinggi dan rendah— kalau semua memeluk yang ini, kesatuan fundamental yang melandasi semua keaneka-ragaman luar ini? Sebab itulah fakta yang Anda temui pada setiap langkah di dalam kehidupan Anda sehari-hari. Tujuan akhir dari semua agama adalah merealisasikan kesatuan hakiki ini.