2006-06-27

SPIRITUALISME BUKAN SPIRITISME.

Spiritualisme di dalam agama adalah kepercayaan, atau praktek-praktek yang berdasarkan kepercayaan bahwa jiwa-jiwa yang berangkat (saat meninggal) tetap bisa mengadakan hubungan dengan jasad. Hubungan ini umumnya dilaksanakan melalui seorang medium yang masih hidup. Ada keterlibatan emosional yang kuat, baik pada penolakan maupun penerimaan terhadap spiritualisme ini yang membuat sulitnya suatu uraian imparsial dipakai untuk membuktikannya.

Spiritualisme di dalam filsafat adalah sebentuk karakteristik dari sistem pemikiran manapun yang meyakini eksistensi dari realitas immaterial yang tak bisa dicerap oleh indria. Didefinisikan seperti itu, spiritualisme jadi melingkupi cakupan di dalam berbagai pandangan filosofis yang luas. Makanya, dualisme dan monisme, theisme dan atheisme, pantheisme, idealisme, dan banyak posisi filosofis lainnya juga dikatakan bersesuaian dengan spiritualisme, sejauh mereka juga beranggapan bahwa realitas ini bebas dan bersifat superior ketimbang materi.

Berbeda dengan spiritualisme, spiritisme merupakan keturunan langsung atau pengembangan dari animisme —yang percaya bahwa semua benda dan kejadian alam ‘berjiwa’, dan dinamisme —yang percaya bahwa ada manifestasi-menifestasi dari kekuatan tertentu di balik semua dinamika semesta dan fenomena-fenomena alam. Pengaruh dari kedua cikal-bakal spiritisme ini terasa sangat kuat di kalangan masyarakat primitif. ‘Berjiwa’ disini lebih dimaksudkan sebagai punya kekuatan—baik kasat indria maupun tidak— seperti kekuatan untuk penyembuhan, kekebalan, tenaga-dalam dan hal-hal yang bersifat kanuragan sampai yang bernuansa klenik lainnya. Betapapun tampak hebatnya kekuatan yang dimaksud, ia selalu mengandung pengertian dan mengarah pada materi atau dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat materialistik dan ragawi. Bagi penganutnya, segala sesuatunya hanya bisa disebut nyata ada bila bisa dimaterialisasikan dan kasat-indria. Bila tidak, ia tak nyata. Bagi mereka hanya realitas material-lah yang ada.

Sayangnya, kedua istilah—yang berbeda secara diametrikal—ini seringkali dikacaukan orang. Teramat sering kita saksikan kalau hal-hal yang sebetulnya merupakan bagian dari spiritisme disebut sebagai spiritualisme. Sementara acara televisi dan pembicara serta penlis di media-massa lain punya andil besar terhadap kekacauan atau salah-kaprah ini. Sedihnya lagi, kesalah-kaprahan ini malah sudah menjangkiti sementara kalangan terdidik.

Ditinjau dari tiga sifat dasar makhluk hidup (triguna), spiritisme cenderung tergolong pada sifat rajas (aktif, ambisius, dinamis, agresif) dan tamas (pasif, lembam, inersia, gelap); sedangkan spiritualisme cenderung sattvam (proaktif, kalem, seimbang, jernih). Kalau spiritisme sangat eksternalistis, maka spiritualisme lebih bersifat internalistis. Pencarian spiritisme mengarah ke luar diri, sedangkan pencarian spiritualisme mengarah ke dalam diri.