2006-06-23

Delapan ciri yang menyatakan tingginya nilai SQ seseorang.

Cukup menarik juga untuk diketahui kalau Cherian P. Tekkeveettil, melalui penelitiannya, mengemukakan delapan ciri yang menyatakan tingginya nilai Intelijensia Spiritual (SQ) seseorang. Mereka adalah:

1. Keluwesan;
2. Kesadaran-diri;
3. Kemampuan di dalam menghadapi dan memanfaatkan penderitaan hidup;
4. Kemampuan untuk terinspirasikan oleh suatu penampakan atau visi;
5. Kemampuan untuk melihat hubungan di antara hal-hal yang (tampak) berlawanan atau kemampuan untuk berpikir holistis;
6. Hasrat yang kuat dan kapasitas untuk sekecil mungkin menjadi penyebab ‘luka’;
7. Kecendrungan untuk mencermati dan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan fundamental; dan
8. Kemampuan untuk bekerja melawan konvensi atau bekerja secara inkonvensional. ¹)

Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap ajuan dari Cherian P. Tekkeveettil ini, rupanya ia menempatkan kesadaran-diri sebagai salahsatu cirinya. Dan ini menarik untuk dijadikan perhatian. Walaupun memang ada orang-orang istimewa yang sudah berbekal derajat kesadaran-diri tertentu dalam kelahirannya ini, bagi kebanyakan dari kita, kesadaran-diri tetap merupakan sesuatu yang perlu dikembangkan secara sadar dan sistematis. Kesadaran-diri punya karakter alamiahnya sendiri yang perlu dipahami guna bisa mengembangkannya. Dan inilah yang tidak dipahami oleh semua orang, sehingga tidak semua orang bisa mengembangkan keadaran-dirinya secara benar-benar mandiri.

Keluwesan di dalam pergaulan misalnya, bukan saja merupakan watak bawaan, ia juga bisa dilatihkan, dipelajari. Keluwesan di dalam menerima dan menjadi selaras dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara tiba-tiba baik di lingkungan alam maupun sosial, memang memberi banyak manfaat besar secara mental dan di dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dan agaknya, walaupun ada, tidaklah banyak orang yang memang punya watak demikian. Ia lebih merupakan keterampilan mental yang terlatih di dalam interaksi-interaksi kita dengan alam maupun dengan orang-orang, disamping pemahaman yang mendasarinya.

Begitu pula dengan yang ketiga —kemampuan di dalam menghadapi dan memanfaatkan penderitaan hidup. Untuk mengembangkannya butuh derajat intelijensia (IQ dan EQ) tersendiri, yang umumnya juga merupakan bakat bawaan.

Ciri empat, lima dan tujuh, walaupun bisa, agaknya kecil kemungkinannya untuk mengembangkannya sampai batas-batas optimal hanya di dalam kehidupan ini, mengingat mereka lebih merupakan bakat bawaan. Berbeda dengan ciri enam dan delapan. Dengan menyebut cirri delapan sebagai ‘kemampuan untuk bekerja melawan konvensi atau bekerja secara inkonvensional’, ia jadi mengesankan ‘sikap memberontak’. Oleh karenanya, kendati mengandung substansi yang sama, akan jauh lebih netral dengan meyebutnya sebagai ‘kemampuan untuk bekerja secara inovatif’.

Secara keseluruhan, kedelapan ciri yang diajukan itu tampak lebih menjurus pada bakat kelahiran di dalam spiritualitas. Artinya, betapa berbakatpun seseorang, kalau bakat itu tidak dikembangkannya lewat cara-cara yang tepat, tetap saja ia tertinggal sebagai bakat, sebagai potensi yang tak pernah benar-benar memberinya manfaat.

Mengapa Orang Melakukan Pembunuhan?

Pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ir. Aniek Qori’ah Sriwijaya (31) terhadap 3 orang anaknya: Faras (6), Nazhif (3) dan Umar yang masih orok - sungguh teramat sangat mengerikan. Kita belum pernah mendengar seekor induk harimau sekalipun tega menerkam atau mengoyak-ngoyak anak-anaknya sendiri sampai mati. Dan kalaupun seandainya hal itu terjadi kita akan cenderung berpikir bahwa harimau itu hanyalah hewan dan tidak memiliki hati nurani. Tetapi manusia? Bagaimana seorang yang namanya ibu tega membunuh – bukan hanya satu – tetapi tiga anaknya sekaligus dengan cara mencekiknya, membekapnya - atau bagaimanalah caranya - sehingga anak-anak itu mati lemas karena kekurangan oksigen untuk bernapas.

Ibu ini bukanlah type manusia yang tidak makan sekolahan karena ia adalah seorang sarjana cerdas lulusan ITB. Ia juga bukan type seorang yang tidak taat beragama atau mempunyai latar belakang keluarga yang kacau. Ia sedang menjabat sebagai Kepala Lembaga Wakaf dan Zakat Salman ITB. Tentulah ia bukan seorang yang buta sama sekali dalam hal moral dan urusan keaagamaan. Lalu mengapa ia sampai mata gelap dan mampu dam tega membunuh semua anak-anaknya?

Adardam Achyar, S.H., M.H., seorang anggota tim kuasa hukum tersangka tersangka berpendapat bahwa selama ini hubungan Aniek dengan suaminya baik-baik saja walaupun suaminya, Iman Abdullah, jarang pulang ke rumah karena tuntutan sifat pekerjaannya. “Kehidupan mereka itu sangat Islami. Mereka adalah keluarga yang sakiinah, mawaddah, wa rahmah,” demikian keterangan persnya.

Kasus ini saya kira akan menjadi topik perdebatan seru di kalangan psikologi, psikiatri, kriminologi, juga kalangan moral dan agamawan. Di kalangan hukum kasus ini tidak terlalu seru untuk dibahas sebab jelas terbukti telah terjadi pembunuhan berencana yang diancam dengan hukuman maksimal yaitu hukuman mati. Bagi pihak pembelanya paling-paling akan mengusahakan pembuktian adanya “kelainan jiwa” sehingga hukumannya dapat dikurangi sampai maksimal hukuman penjara seumur hidup dan menurut hemat saya tidak akan sampai taraf dibebaskan karena alasan kelainan jiwa.

Dalam sistim nilai moral dan keagamaan ada tiga nilai utama yang penting bagi kehidupan ini yaitu Iman, Harapan dan Kasih. Dari segi Iman, ibu ini sangat taat beribadah bahkan berbusaha muslim sesuai tuntutan syariah. Dari segi Harapan, konon faktor inilah yang menyebabkan dirinya putus asa memikirkan bagaimana nasib ketiga anaknya di masa depan. Karena melihat masa depan demikian gelapnya maka ia memutuskan untuk mengakhiri jiwa ketiga anaknya.

Ada hal-hal yang tidak klop di sini, ibarat mengisi teka teki silang yang saat mendatar semuanya klop tetapi saat menurun tampak ada kejanggalan-kejanggalan. Kalau kehidupan imaniyah ibu ini sangat taat beragama - yang artinya juga termasuk adanya sikap tawakkal dan berserah diri, lalu mengapa ia menjadi demikian putus asa atau tanpa apresiasi terhadap nilai Harapan sama sekali?

Secara kodrati ia adalah ibu yang mencintai anak-anaknya, terbukti dari sikap prihatinnya terhadap masa depan anak-anaknya. Kalau ia mencintai anak-anaknya lalu mengapa ia begitu sampai hati membunuh anak-anak yang nota bene dicintainya itu dengan cara mencekik/ membekapnya sampai mati kehabisan nafas. Tentunya anak-anak itu telah meronta-ronta cukup lama sebelum kehabisan nafasnya, lalu di mana sisa rasa cinta kasih keibuannya selama proses pembunuhan itu berlangsung.

Apakah perbuatan biadab itu hanya merupakan suatu “kekhilafan” (mata gelap) semata-mata? Rasanya tidak mungkin karena delik ini lebih tampak ke permukaan sebagai suatu pembunuhan berencana atau “the first degree murder” daripada sekedar suatu kekhilafan sesaat yang spontan dilakukan tanpa berpikir.

Apakah perbuatan biadab ini akibat bisikan Iblis – uenak tenan mempunyai Iblis yang selalu siap untuk dibantai sebagai kambing hitam - yang merasuki jiwanya? Ini juga agak kurang logis karena bagaimana Iblis dengan begitu mudah merasuki seseorang yang rajin dan taat serta teratur beribadah? Orang yang taat beribadah itu selain terus mengasah cintanya kepada Allah, sekaligus juga mempertebal cintanya terhadap sesamanya, terlebih-lebih tentunya terhadap darah dagingnya sendiri - yang telah dikandung dan dilahirkannya sendiri dengan duka derita yang luar biasa.

Saya cenderung mengakui kebenaran akan dua hal pokok. Pertama, kodrat kemanusiaan itu memang secara inherent sudah cacat con-natural dan lebih miring cenderung ke arah sisi kejahatan daripada ke arah sisi kebaikan. Kedua, kapan terjadinya (atau tidak terjadinya) suatu tindakan kejahatan dalam realitas tergantung pada terbentuknya motivasi, terciptanya kesempatan yang kondusif, dan adanya faktor pemicu bagi ledakan akhir (adanya ‘casus belli’). Suatu ledakan terakhir tidak mungkin terjadi bila sebelumnya tidak terbentuk suatu akumulasi lava stress yang panjang (mungkin telah ada ratusan 'stressor') dan terus menerus dalam waktu yang lama - tetapi yang semuanya dimulai dari suatu “titik awal” tertentu pada suatu waktu tertentu. “Titik awal” itu dapat berupa “luka batin” dalam bentuk apapun, seperti misalnya: adanya rasa kecewa luar biasa, hinaan luar biasa, sakit hati, iri dengki, frustrasi, amarah yang terpendam, paranoia, kekhawatiran berlebihan, dan lain sebagainya.

Rasanya tidak mungkin ada orang yang tanpa memendam suatu luka batin apapun, lalu tiba-tiba begitu saja meledak sehingga tega membunuh tiga orang sekaligus, apalagi kalau korban itu anak-anak sendiri yang tentunya sangat dicintai sebagai seorang ibu. Mau dibilang mungkin atau tidak mungkin secara teoretis, namun faktanya pembunuhan itu telah terjadi dalam realitasnya. Mungkin dibutuhkan suatu fasilitasi Komunikasi Empati yang sangat intens untuk memahami motivasi pembunuhan sadis dan horrible seperti itu.

Sinyal yang saya peroleh secara subyektif (belum tentu obyektif) ialah ibu ini telah mengalami suatu “luka batin” dalam bentuk suatu “kekecewaan yang luar biasa” dan yang telah lama dan terus menumpuk, berakumulasi sehingga akhirnya “tak tertahankan lagi” dan langsung meledak. Apa, siapa, atau kondisi seperti apa yang menyebabkan “kekecewaan luar biasa” itu tidak atau belum lagi terungkapkan. Apa yang menjadi “percikan api” yang jadi pemicu “bom waktu’ itu meledak juga tidak diketahui. Tetapi arahnya - kiranya tidak bisa lain dan akan menuju ke sana. Kekecewaan !