2006-06-07

Siluman Laba-Laba

Dalam Budhisme diajarkan bahwa akar penderitaan adalah keinginan. Saat kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, itulah penderitaan. Atau saat kita mendapatkan apa yang tidak kita inginkan, itulah penderitaan. Keterikatan pada keinginan itulah yang menjadi sumber dari penderitaan. Lepas dari keterikatan tersebut berarti terbebasnya seseorang dari penderitaan (samshara).

Dalam serial Kera Sakti dikisahkan Biksu Thong dan ketiga kawannya yang nakal dan lucu: Pat Kai (Siluman Babi), Sun Go Kong (Siluman Kera), dan Wu Ching (mantan dewa yang kehilangan kebijaksanaannya) sedang melakukan perjalanan ke barat mencari Kitab Suci. Dalam perjalanan tersebut mereka seringkali dicegat berbagai siluman yang jahat dan kejam yang bermaksud menggagalkan niat mereka. Ada Siluman Mimpi, Siluman Api Sakti, Siluman Kerbau, Siluman Ular... Dan Siluman Laba-Laba.

Tentu semua itu hanya metafora saja; dalam diri kita pun terdapat sifat-sifat ini: sifat mata keranjang dan suka perempuan (dipersonafikasikan sebagai Pat Kai), sifat yang nakal dan tak bisa diam (Sun Go Kong), dan kadang kita pun begitu bodoh hingga sulit mendengar pendapat yang berbeda (Wu Ching adalah personafikasi kebodohan). Kabar baiknya adalah: ketiga 'siluman' yang nakal dan lucu tersebut adalah sahabat kita, teman seperjalanan kita dalam mencari Kitab Suci (Kebajikan). Ketiganya tak akan membahayakan kita selama mereka patuh pada Biksu Thong (Pecinta Kebajikan).

Namun dalam perjalan tersebut: akan ada banyak siluman yang menghadang: Siluman Mimpi, menipu kita dengan berbagai ilusi, Siluman Api Sakti yang pernah mengurung Kera Sakti dan kawan-kawannya dalam buah labunya (kita pun sering terkungkung dalam 'ego' kita sendiri, dan tak bisa keluar dari sana).... Dan Siluman Laba-Laba: siluman ini sering menggoda kita dengan berbagai keinginan dan kerakusan, keinginan-keinginan tersebut seperti jaring laba-laba yang akhirnya membelenggu Jiwa. Dalam tataran yang lebih 'luar': keinginan-keinginan tersebut tak henti-hentinya menciptakan berbagai masalah dan persoalan, seperti yang membelenggu bangsa dan negara kita ini.

San chai, san chai.....

SEHAT DALAM PERSPEKTIF SUFI

Salah satu tradisi yang digemari kaum sufi adalah kecenderungannya untuk berkhidmat, menolong dan memuliakan manusia. Tradisi itu diyakini sebagai upaya untuk mendekati Tuhan. mereka meniru akhlak Tuhan sebanyak-banyaknya dan menyerap sifat-sifat-Nya untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu sifat Tuhan yang paling menonjol adalah belas kasih sayang-Nya terhadap manusia. Para sufi berusaha menyebarkan dan memberikan belas kasih ini ditengah-tengah kehidupan manusia. Menjadi penenang hati yang gundah, peneduh jiwa yang gersang, penolong orang yang susah, petunjuk bagi yang sesat dan menjadi “dokter” bagi orang yang sakit. Bakti terhadap manusia yang dianggap paling mulia, diyakini sebagai anugerah langsung dari Tuhan oleh para sufi adalah baktinya untuk mengobati orang sakit.

Para sufi tidak memisahkan antara penyakit fisik, pikiran dan jiwa, semuanya saling mempengaruhi. Mereka berusaha menyeimbangkan ketiga unsur di atas agar tetap harmonis. Bagi mereka, manusia bukan hanya sebongkah tubuh yang kasat mata saja tapi memiliki wilayah bathin, yang merupakan penghubung langsung dengan Tuhan, yaitu jiwa tempat cahaya-Nya bersemayam. Kesehatan jiwa inilah yang diusahakan terus-menerus oleh kaum sufi. Pengobatan jiwa diposisikan sebagai pengobatan yang paling utama dan merupakan pusat dari tubuh dan pikiran. Jika jiwa seseorang sehat maka tubuh dan pikiran pun akan terkondisiokan untuk tetap sehat. Sebelum melakukan pengobatan, mereka biasanya mendiagnosa pasien terlebih dahulu. Apakah yang sakit itu badan, jiwa atau pikirannya. Jika badan yang sakit, maka mereka menggunakan kekayaan alam, seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, yang diramu khusus tanpa dicampur zat lain sebagai obatnya. Pengobatan ini dipersiapkan untuk kesehatan fisik, darinya akan terbentuklah kesehatan fisik. Para sufi menawarkan cara tersendiri untuk memahami masalah, mengenali diri dan lingkungannya, memaknai hidup, mencari kebenaran, kebahagian dan kedamaian. Untuk keselamatan dunia akhirat.

Jika manusia sudah memiliki kesehatan fisik dan mental secara optimal, maka pengobatan dilanjutkan kepada pengobatan jiwa (spiritual). Pada tahap ini seseorang diajak untuk membuka kesadarannya akan ketuhanan secara luas, dengan menjalani sebuah latihan atau ibadah khusus yang bertujuan untuk menlenyapkan sifat-sifat tercela dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik. Ibadah khusus yang dilakukan berfungsi sebagai sebuah jalan untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Agama dan keimanan merupakan basis terpenting dalam pengobatan jiwa. Karena pada prinsipnya. Agama mengajarkan berbagai macam bentuk ibadah yang bertujuan untuk memelihara kesucian dan keagungan ruhani manusia, agar seluruh perilakunya mengarah pada yang suci dan agung pula. Dalam pencapaian spiritual ke tingkat yang lebih tinggi, agama dapat diposisikan sebagai sure of the soul, penyembuhan ruhani. Sedangkan keimanan merupakan suatu energi yang memotivasi seseorang untuk melaksanalkan ajaran agamanya secara teguh dan kontinyu. Sehingga jiwanya mendapat pengobatan yang intensif dan menperoleh kesehatan spiritual yang maksimal dengan kondisi jiwa yang tenang. Jiwa ini disebut nafs al-mithmainnah.

Untuk jiwa yang sakit kaum sufi menpergunakan beberapa metoda penyembuhan, antara lain:dzikir, shalat dan puasa. berdzikir merupakan latihan dasar bagi orang dalam mengobati jiwanya. Potensi ruh (energi) dan hati yang ada dalam jiwa akan teraktifkan dengan dzikir. Dengan demikian, komunikasi dengan Tuhan dan pengetahuan tentang cara hidup yang harus dijalani akan diperoleh. Hidup akan terarah dengan benar dan kembali pada Tuhan dengan selamat. Dzikir adalah sebuah cara agar Tuhan selalu menerangi hati dan mebimbing kehidupan. Hati manusia yang begitu keras bagaikan batu dan condong pada dunia akan luluh dengan dzikir yang terus-menerus. Hati pun akan menjadi lembut untuk menperoleh cahaya Tuhan.

Shalat juga akan membuat jiwa sehat apabila kita lakukan dengan khusyu. Dalam shalat, tubuh, jiwa dan pikiran diajak bersatu pada yang tunggal yaitu Allah SWT. Dengan demikian, kehadiran Tuhan akan dirasakan karena di asini kita meniadakan selain-Nya. Shalat adalah sebuah perjalanan panjang yang merangkum perjalanan hidup kita, seakan-akan disadarkan akan asal dan tujuan hidup. Manusia bukan hanya makluh yang harus menperoleh kebahagiannya di bumi saja, tapi manusia adalah makluh spiritual, makluh suci yang harus menjaga kesucian dan kembali kepada Tuhan. Sebagaimana rumi bersyair,”manusia bagaikan sepotong bambu yang tercerabut dari rumpunnya setiap saat dirinya gelisah dan menangis karena rindu untuk kembali ke tempat asalnya yang suci.”

Adapun puasa, merupakan latihan untuk memperhalus perasaan kita, mengasah keperdulian terhadap penderitaan sesama dan lingkungannya, serta menumbuhkembangkan sifat-sifat kemanusiaan, agar nampak dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih, puasa merupakan cara untuk melepaskan kecenderungan jiwa yang terdominasi keinginan-keinginan tubuh. Kehidupan kita hanya peka terhadap kebutuhan tubuh. Sedangkan jiwa tidak diperhatikan dan akhirnya berpenyakit Suhrawardi al-maqtul mengatakan bahwa puasa berfungsi mengurangi beban material tubuh, menurutnya, tubuh tercipta dari bahan kasar, berupa tanah lempung (basah). Sedangkan jiwa tercipta dari bahan halus yang merupakan aspek batin manusia yang merupakan hembusan nafas Tuhan dalam jiwa untuk menuntun tubuh memahami ayat-ayatNya. Jiwa tidak bisa mengaktifkan potensi ruh ini, karena terpenjara oleh kekuasaan tubuh dan mendominasinya sehingga jiwa semakin terpuruk dan terhalangi oleh gelapnya tubuh yang bersifat materi. Ketika manusia banyak memuaskan keinginan tubuhnya dengan mengkonsusi materi, maka semakin tambahlah sisi materialnya, dan semakin sulit baginya untuk keluar dari tubuh, dan menangkap pesan-pesan Tuhan dengan cahaya ruh-Nya. Dengan puasa, materi tubuh dapat dikurangi dan jiwa mulai nampak keluar, memimpin tubuh dengan kekuatan ruhaninya dan menjadika seluruh anggota tubuh agar memahami seluruh ciptaan Tuhan yang bersifat materi atas perintah jiwa. Dengan demikian teraktiflah seluruh potensi yang ada dalam diri manusia sesuai fungsinya, yaitu menjaga kesuciannya. Hanya dengan penerangan Tuhanlah manusia bisa kembali dengan suci.

Pandangan kaum sufi tentang konsep sehat di atas, bersifat lebih menyeluruh, mereka menganggap bahwa tubuh adalah satu kesatuan yang utuh. Sebentar lagi kita akan memahami bahwa konsep sufi dalam hal ini tidaklah jauh beda dengan ilmu kedokteran holistik.

Ada kesamaan yang dikembangkan dan ditanamkan dalam diri si pasien dalam proses pengobatannya. Salah satunya adalah konsep “keyakinan”. Baik kaum sufi maupun tabib, membenankan keyakinan, agar proses penyembuhan dapat berjalan baik. Tanpa keyakinan yang kuat, kecil kemungkinan sembuh diperoleh.

Kaum sufi lebih suka mengajak kepada hal-hal yang ada dalam diri manusia. Maka metode yang diterapkannya merupakan metoda untuk kesehatan diri yang hanya dapat diperoleh atas inisiatif pasien diri sendiri. Seorang sufi hanya bertindak sebagai pembimbing, bukan penyembuh. Membimbing ke arah yang diharapkan, yakni kesembuhan. Penentu kesembuhan hanyalan Allah Azza Wa Jalla.

Namun kita akan segera melihat bahwa secara konseptual, penyembuhan cara sufi ini menpunyai banyak kekurangan. Cara mereka dalam memandang sehat, metoda penyembuhan dan lain-lain belum banyak kita dapatkan. Sumber buku yang membahas “sehat cara sufi”, sebagian besar di tulis bukan oleh seorang sufi, tapi oleh orang yang mempunyai pengetahuan tentang kesufian. Kita pun patut bertanya, siapa sebenarnya berhak menyebut dirinya atau orang lain sebagai sufi?

Dalam hal ini belum ada penjabaran yang terperinci di kalangan sufi sendiri tentang beberapa metoda yang dijelaskan diatas, seperti metoda szikir, shalat dan puasa yang dikhususkan pada kesehatan.

Namun beberapa kelompok atau organisasi yang secara khusus mnengembangkan metoda ibadah menuju khusyu’, banyak para anggotanya mengalamini peningkatan kesehatan fisik dan psikis. Hal ini menunjukkan korelasi ibadah yang khusyu’ bisa menpengaruhi pola pikir dan pola hidup yang membawa dampak ketenangan pikiran dan keteraturan hidup. Tidak heran bila para anggotanya yang mengalami peningkatan kesehatan secara dratis.

BADAN, JIWA DAN RUH

Rahasia terbesar dalam kehidupan manusia adalah: asal muasal munculnya kehidupan! Ribuan tahun sepanjang peradaban manusia itu sendiri pertanyaan ini terus mengalir. Dan sepanjang sejarah itu pula, jawabannya juga terus menggantung.

Setiap zaman dan setiap generasi memuncul kan tokoh dan pendapat tentang misteri munculnya kehidupan itu. Namun jawabannya tidak pernah memuaskan. Munculnya kehidupan tetap menjadi tanda tanya besar yang mengundang setiap kita untuk datang 'menghampirinya' sekaligus selalu berusaha mencari jawabnya.

Agaknya, jawaban terhadap pertanyaan seputar sumber kehidupan itu tidak akan pernah memuaskan, ketika kita tidak mencari informasi dari sumber yang sebenarnya. Sebab manusia adalah sekadar 'pelaku' dalam drama kehidupan itu. Maka sudah sewajarnya ia tidak pernah tahu dari mana datangnya kehidupan yang ia miliki.

Informasi tentang sumber kehidupan, agaknya, hanya bisa kita dapatkan dari sang Pembuat Kehidupan itu sendiri, yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Maka, dalam diskusi ini kita akan berusaha melakukan beberapa rekonstruksi dengan mengambil informasi yang berasal dari FirmanNya di dalam Al-Qur'an al Karim, dan kemudian kita bahas dengan melibatkan ilmu pengetahuan yang berkembang di abad-abad mutakhir.

Selain 'sumber kehidupan' yang menjadi misteri dalam kehidupan kita adalah 'Kehidupan' itu sendiri. Kenapa dan bagaimana sesosok makhluk yang tadinya mati bisa mendapatkan kehidupannya. Tiba-tiba bisa bergerak dan berkembang biak.

Kita memahaminya, bahwa makhluk itu telah memperoleh Ruh kehidupannya. Sehingga dia menjadi hidup. Maka muncullah berbagai pertanyaan tentang Ruh sebagai tenaga kehidupan itu. 'Dari mana, 'Apa' dan 'bagaimanakah' Ruh itu, sehingga bisa memberikan energi kehidupan kepada sesuatu yang tadinya mati.

Ya, Ruh telah menebarkan misteri yang tiada habisnya bagi si makhluk hidup itu sendiri. Manusia bisa merasakan hadirnya energi kehidupan di dalam dirinya, tapi tidak pernah bisa memahami tentang hakikat "Energi Kehidupan" itu.

Rahasia Ruh sebagai energi kehidupan tetap tersimpan rapi sepanjang perkembangan peradaban manusia. Kita lantas juga bertanya, benarkah rahasia ini akan tetap tersimpan sampai akhir zaman?

Dan misteri yang ketiga selain asal muasal kehidupan & Ruh adalah tentang Jiwa. Seringkali kita menyebut Jiwa sebagai Salah satu komponen penyusun makhluk hidup, termasuk manusia. Namun, tidak sedikit di antara kita yang tidak memahami : apakah sebenarnya Jiwa? Apa bedanya dengan Ruh?

Begitu banyak diskusi beredar, yang mencoba membahas tentang Ruh dan Jiwa. Bukan hanya dewasa ini, tapi sudah berumur ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Namun demikian, saya melihat, kita perlu melakukan pemahaman ulang serta rekonstruksi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang mutakhir.

Sebab saya merasa, bahwa pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh para pendahulu kita mengalami beberapa kendala dalam mempersepsi persoalan tersebut dikarenakan belum berkembangnya ilmu pengetahuan empirik seperti dewasa ini.

Pemahaman yang baik tentang rahasia kehidupan itu, bakal membawa kita kepada rahasia yang 'Paling Besar' dalam drama kemanusiaan ini, yaitu: Eksistensi Sang Pencipta Kehidupan.

Maka, dalam diskusi ini saya ingin mengajak pembaca untuk menyelami Salah satu dari rahasia tersebut, yang berkaitan dengan : Jiwa dan Ruh.

Hampir setiap kita menyepakati bahwa diri makhluk hidup terdiri dari badan, Jiwa dan Ruh. Tapi, tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa diri makhluk hidup hakikatnya hanya terdiri dari Jiwa dan raga saja. Atau dengan kalimat yang lain, ada yang menyebutnya sebagai terdiri dari badan dan nyawa. Fisik dan psikis. Lahir dan batin. Begitulah seterusnya, kebanyakan kita mempersepsi diri makhluk hidup hanya ke dalam dua bagian saja, sebagaimana di atas.

Tapi, saya 'merasakan' ada sesuatu yang lain, ketika mencoba melakukan eksplorasi informasi terhadap diri makhluk hidup itu. Khususnya manusia.

Saya memperoleh gambaran, agaknya bukan cuma 2 `unsur' yang menyusun sosok makhluk hidup, melainkan 3 unsur. Ketiga unsur itu adalah : Badan, Jiwa dan Ruh.

Dalam berbagai pembahasan selama ini, kebanyakan kita tidak membedakan antara Jiwa dan Ruh. Atau, kalaupun merasakan perbedaan, kita tidak begitu 'melihat' perbedaan yang signifikan atau mencolok. Karena itu, kita lantas cukup memandangnya sebagai 2 bagian saja.

Yang satu, kelihatan sebagai badan berotot, berdaging, berdarah, bertulang, punya susunan saraf, dan lain sebagainya, dalam bentuk susunan struktur biologis. Sedangkan satunya lagi adalah sesuatu yang abstrak, tidak kelihatan, tidak bisa didengar, tidak dapat
diraba, dan bahkan tidak bisa digambarkan. Tapi jelas ada, dan bisa dirasakan.

Pendapat tentang persamaan Jiwa dan Ruh, juga dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah, seorang tokoh pemikir Islam murid pemikir terkenal Ibnu Taimiyah. Dalam diskusinya yang berjudul Ar Ruh li Ibnil Qayyim diterjemahkan dalam judul ROH ia menegaskan hal itu. Bahwa, Ruh tak lain adalah bentuk lain dari Jiwa, atau sebaliknya.

Dalam skala yang lebih umum, seringkali kita juga mendengar pendapat bahwa jiwa dan raga pada makhluk hidup bagaikan sebuah mobil dengan pengendaranya. Raga adalah mobil, sedangkan Jiwa adalah pengendara alias driver.

Maka, Jiwa dan raga atau 'pengendara dan mobil' adalah suatu kesatuan sistem yang melaju `dijalan raya kehidupan' untuk menuju satu tujuan yang sama. Aktor utamanya, adalah pengendara, sedangkan mobil hanya sekadar sarana belaka.

Mobil adalah benda mati, sedangkan pengendara adalah makhluk hidup yang punya kehendak. Demikianlah kita membuat perumpamaan antara Jiwa dan raga. Kita menganggap badan adalah benda mati, sedangkan Jiwa kitalah yang makhluk hidup.

Sampai disini, saya kira kita mulai merasakan 'keanehan' perumpamaan itu. Sebab yang namanya makhluk hidup itu memang bukan hanya Jiwa, melainkan keseluruhan sistem antara Jiwa dan raga. Dan justru, ketika keduanya 'terpisah'. manusia itu disebut sebagai mengalami kematian.

Kita lantas mulai bertanya-tanya, sebenarnya kehidupan itu muncul dari mana? Apakah susunan badan itu yang menyebabkan munculnya kehidupan dengan sendirinya? Ataukah karena badan kita dimasuki oleh Jiwa? Dengan kata lain, berarti Jiwa adalah sosok mandiri yang menjadi sumber kehidupan Itu?

Lantas apakah Jiwa bisa berdiri sendiri tanpa badan? Apakah Jiwa diciptakan lebih dulu dari badan ataukah diciptakan seiring dengan penciptaan badan? Kalau Jiwa diciptakan lebih dahulu, lantas apakah ada kehidupan Jiwa sebelum kehidupan manusia ini?

Dan setelah kehidupan manusia di muka bumi ini, kemanakah perginya Jiwa? Apakah akan kembali lagi ke badan kita? Kemudian, apakah Jiwa itu memiliki kualitas yang sama antara semua makhluk hidup, ataukah bertingkat-tingkat? Dan segudang lagi pertanyaan yang mengusik pikiran kita, serta membutuhkan jawaban yang lebih gamblang. Untuk itu, pada diskusi ini kita akan mencoba membahas rahasia kehidupan yang telah menjadi misteri sepanjang zaman...

APAKAH JIWA, APAKAH RUH

Informasi tentang Jiwa dan Ruh tersebar di dalam Al-Qur'an dalam kadar yang berbeda. Perbedaan itu terkait dengan jumlah ayat yang menerangkannya maupun makna dalam penggunaannya.

Kata 'Jiwa' di dalam Al-Qur'an diwakili dengan kata `nafs'. Meskipun makna 'nafs' ini, secara umum bisa diartikan sebagai 'diri'. Penggunaan kata nafs yang menggambarkan 'jiwa' difirmankan Allah di dalam Al-Qur'an tidak kurang dari 31 kali. Sedangkan kata nafs (anfus) yang bermakna 'diri' difirmankan tidak kurang dari 279 kali.

Sementara itu, kata 'Ruh' atau 'Roh' di dalam Al-Qur'an diulang-ulang oleh Allah sebanyak 10 kali. Jadi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan kata `Jiwa' dan `diri'

Selain itu, penjelasan dan pembahasan tentang Jiwa ternyata juga sangat banyak dibicarakan di dalam Al-Qur'an. Bahkan kita dipancing oleh Allah untuk berusaha memahami 'Jiwa' itu dengan menggunakan akal kita. Hal tersebut bisa kita dapatkan infomasinya pada ayat berikut ini.

QS. Az Zumar (39) : 42
Allah memegang Jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) Jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah Jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan Jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita tentang makna Jiwa. Bahwa Jiwa adalah 'sesuatu' yang bisa ada dan tidak ada, atau bisa keluar dan masuk pada seorang manusia ketika dia masih hidup.

Dijelaskan oleh Allah bahwa seseorang yang sedang terjaga tidak tidur dan tidak mati ia memiliki Jiwa di dalam dirinya. Pada saat orang itu tertidur atau mati, Allah memegang Jiwa manusia tersebut. Dan kemudian Dia menahan Jiwa ketika orang itu mati alias tidak
dikembalikan. Sedangkan pada orang yang tertidur, Allah melepaskan Jiwa itu, sehingga orang yang tidur itu terbangun atau tersadar kembali.

Kita memperoleh gambaran awal yang sangat menarik tentang Jiwa. Bahwa Jiwa adalah sesuatu yang terdapat pada orang yang terjaga alias `tersadar'. Pada orang-orang yang tidak 'sadar' maka Jiwa itu 'terlepas' darinya (ditahan Allah).

Kondisi tidak sadar itu bisa diperluas bukan hanya saat tidur dan mati, melainkan juga kondisi-kondisi yang mirip dengan tidur dan mati. Misalnya, pada orang yang pingsan dan mati suri (koma), dimana seorang manusia tidak bisa beraktifitas secara normal dan sadar. Jadi, Jiwa berkait erat dengan 'kesadaran' seseorang.

Di ayat lain, Allah memberikan gambaran tentang Jiwa itu, sebagai 'sesuatu' yang kualitasnya bisa naik dan turun. Rendah kualitasnya pada saat masih bayi, dan kemudian menjadi semakin sempurna pada saat ia sudah dewasa. Hal ini diterangkan oleh Allah pada beberapa firmanNya.

QS. Al A'raaf (7) : 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap Jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Ayat di atas memberikan informasi, bahwa sejak pertamakali manusia dilahirkan oleh ibunya, Allah sudah mengaktifkan Jiwanya. Digambarkan ia telah memiliki 'naluri' ketuhanan. Sehingga, pada dasarnya dia telah memberikan kesaksian awal bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya.

Bahkan, pemahamannya bisa lebih awal dari saat kelahiran. Karena, kalimat 'dikeluarkan dari tulang sulbi' itu menunjukkan saat pertama kali terjadi konsepsi, yaitu pembuahan sel telur oleh sperma.

Ketika sel telur dan sperma dilepaskan dari sumbernya dari indung telur dan testisnya, dan kemudian dipertemukan dan ditempatkan di dalam rahim. Saat itulah Jiwa manusia sudah mulai terbentuk. Dengan kualitas yang palirg rendah. Sangat dasar. Tapi fitrahnya telah bertauhid kepada Allah sang Pencipta.

Di sisi lain, ayat itu memang memberikan informasi dan penegasan bahwa secara fitrah, manusia telah mengakui adanya Allah sebagai Tuhannya. Jadi, kalau seseorang mau mendengarkan kata hatinya, sebenarnya ia akan selalu merasakan dan menyadari bahwa ada Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta beserta seluruh isinya.

Dengan kata lain, orang yang menyebut dirinya atheis (tidak bertuhan), sebenarnya telah mengingkari fitrah Jiwanya dan melawan kata hatinya sendiri. Setiap kita, pada dasarnya, mengakui adanya suatu kekuatan.yang Maha Dahsyat di luar kemampuan diri kita. Dialah Allah Azza wajala.

Cuma, ada yang menyebutnya sebagai `Faktor X' atau kekuatan 'Supranatural' atau `Kebetulan', atau apa pun mereka mengistilahkan. Tapi intinya, setiap kita bisa merasakan dan meyakini bahwa kemampuan manusia sangatlah terbatas. Dan, lantas ada 'Sesuatu Yang Lebih Hebat' di luar kita yang selalu ikut campur dalam urusan kita. Sekali lagi, itulah Tuhannya manusia.

Di ayat yang lain Allah memberikan gambaran bahwa ketika masih bayi Jiwa kita sangatlah lemah, dan tidak tahu apa-apa. Jiwa yang lemah itu akan terus-menerus mengalami penyempurnaan sampai dewasa kelak, lewat berbagai pengalaman hidupnya. Lewat interaksi panca indera dan hatinya.

QS. A Nahl (16) : 78
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Jadi, Jiwa adalah 'sesuatu' di dalam diri kita yang mengalami `pertumbuhan' dan 'perkembangan kualitas' seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kedewasaan seorang manusia. Semakin dewasa dia maka semakin tinggi juga kualitas Jiwanya.

QS. Yusuf : 22
Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan i1mu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Begitulah, ketika tumbuh dewasa, Jiwa memiliki kemampuan semakin tinggi dalam menangkap ilmu dan hikmah.Terutama, mereka yang memproses pengalaman Jiwanya ke arah yang baik dan positif.

Jadi, Jiwa adalah 'sesuatu' di dalam diri kita yang memiliki kemampuan untuk menangkap ilmu dan hikmah. Dia bisa memahami makna yang tersimpan di dalam suatu informasi. Bahkan dia juga bisa melakukan analisa dan mengambil keputusan dalam menyerap ilmu dan hikmah tersebut.

Tentang proses penyempurnaan Jiwa itu, Allah menjelaskan dalam firmanNya. Bahwa manusia, pada mulanya berasal dari sesuatu yang tidak bisa disebut. Kemudian, sesuatu yang tidak bisa disebut itu diproses secara bertingkat-tingkat di dalam diri manusia - Bapak dan Ibunya, sehingga menjadi manusia. Dan kemudian di luar rahim sampai
menjadi dewasa.

QS. Al Insaan (76) : 1
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

QS. Asy Syam (91) : 7 - 10
Dan Jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada Jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan Jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Dengan tegas Allah menjelaskan bahwa Jiwa mengalami penyempurnaan. Ia dihadirkan pertama kalinya dalam kondisi yang lemah, jauh dari sempurna. Setelah melewati proses kehidupan, pengalaman, pembelajaran, maka Jiwa aka menjadi sempurna pada usia dewasanya.

Dalam proses penyempurnaan itu Jiwa bisa mengarah kepada kebaikan, atau sebaliknya pada keburukan. Dalam istilah ayat tersebut di atas : manusia bisa membersihkan Jiwanya, atau mengotorinya.

Jika membersihkan Jiwa, maka beruntunglah kita. Karena Jiwa yang bersih akan memberikan manfaat kepada manusia itu saat hidup di dunia maupun di akhirat nanti. Sedangkan orang yang mengotorinya bakal merugi, karena Jiwa yang kotor itu akan memunculkan masalah dan penderitaan sepanjang kehidupannya di dunia sampai akhirat.

Ketika masih anak-anak, seorang manusia memiliki Jiwa yang bersih. Semakin dewasa, kualitas Jiwanya bisa berubah sesuai dengan proses dan pengalaman hidupnya. Ibarat kertas masih putih belum ada tulisan dan goresan apa pun. Orang tua dan lingkungan hidupnyalah yang bakal menulisi lembaran-lembaran Jiwanya. Kebersihan jiwa seorang anak digambarkan oleh Allah lewat cerita nabi Musa dan nabi Khidr.

QS. Al Kahfi : 74
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh Jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".

Dialog antara nabi Musa dan Nabi Khidhr di atas memberikan gambaran bahwa seorang anak memiliki Jiwa yang bersih. Kata Rasulullah Muhammad saw, orang tuanyalah yang menyebabkan seorang anak menjadi Islam, Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Yang menarik, kecenderungan jiwa untuk melakukan yang baik atau buruk itu sudah dimasukkan Allah sejak awal sebagai sebuah pilihan. Setiap jiwa diberi kebebasan untuk memilih kebaikan ataukah keburukan.

Dengan jelas Allah mengatakan hal itu di ayat tersebut : "maka Allah mengilhamkan kepada Jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya". Terserah kepada kita untuk memilih kebaikan ataukah keburukan. Membersihkan atau mengotorinya. Jadi, Jiwa adalah 'sesuatu' di dalam diri kita yang memiliki kemampuan untuk memilih.

Lebih jauh, Al-Qur'an menginformasikan bahwa Jiwa adalah 'sesuatu' di dalam diri kita yang bisa mengalami 'rasa' senang, sedih, marah, gembira, puas, menyesal, bahagia, dan tentram.

QS. Al Fajr (89) : 27
"Hai Jiwa yang tenang"

QS. Al Qiyaamah (75) : 2
dan aku bersumpah dengan Jiwa yang amat menyesali.

QS. At Taubah (9) : 103
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman Jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

QS. At taubah (9) : 118
dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan Jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat
lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

QS. An Nisaa (4) : 63
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada Jiwa mereka.

Jadi, dalam perkembangan lebih lanjut, Jiwa memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menjadi mandiri dan bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang berisiko. Karena itu, Jiwa lantas harus bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan yang dia lakukan.

QS. Al Infithaar (82) : 5
maka tiap-tiap Jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya

QS. Al Mu'min (40) : 17
Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.

QS. Al Qalam (68) : 40
Tanyakanlah kepada mereka: "Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?"

QS. Al Mudatstsir (74) : 38
Tiap-tiap Jiwa bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,

Maka dari berbagai informasi di atas, kita lantas bisa mengambil kesimpulan terhadap apa yang dinamakan Jiwa, sebagai berikut.

1. Bahwa ada suatu masa di mana manusia belum terbentuk dan belum bisa disebut baik badan, Jiwa, maupun Ruhnya.
2. Bahwa Jiwa mulai 'diaktifkan' oleh Allah di dalam diri seorang manusia pada saat terjadi konsepsi antara sel telur dan sel sperma di dalam rahim seorang ibu. Sejak saat itulah Jiwa 'hidup' bersama dengan tubuh manusia, yang juga hidup.
3. Bahwa Jiwa adalah sesuatu yang mengalami pertumbuhan dan 'perkembangan kualitas' seiring dengan berkembangnya fisik manusia, mulai dari janin sampai dewasa.
4. Bahwa Jiwa 'dibesarkan' oleh bertambahnya `pengalaman dan ilmu pengetahuan' yang diserapnya. Jiwa terlahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan menjadi `dewasa' ketika mampu menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dan memahami hikmah yang terkandung di dalamnya.
5. Bahwa Jiwa bisa bersama-sama ada dengan fisik namun sekali waktu juga bisa terpisah dari fisiknya. Dan, keduanya masih tetap hidup sendiri-sendiri. Kondisi seperti itu digambarkan olehNya terjadi pada orang-orang yang kehilangan kesadarannya, seperti orang-orang yang tertidur, pingsan, koma, atau mati. Bahkan, pada orang mati, Allah mengatakan bahwa Jiwanya masih hidup di sisiNya (QS. 3:169)
6. Sebagaimana kondisi badan seseorang, Jiwa adalah sesuatu yang bisa kena pengaruh dari luar berupa 'tekanan' positif maupun negatif, berupa rasa senang, sedih, kecewa, puas, bahagia, sengsara, dan lain sebagainya. 'Stress' tersebut muncul dalam bentuk `makna'. Jadi, Jiwa bisa mengalami interaksi dengan sesuatu dari luar dirinya dalam bentuk 'makna' alias 'informasi'.
7. Bahwa Jiwa bisa berinteraksi dengan dunia luar lewat fasilitas yang dimiliki badan, yaitu berupa panca indera dan indera ke enam alias hati. Salah satu fungsi yang paling dasar adalah `memahami'
8. Bahwa kualitas Jiwa juga bergantung kepada kualitas fisik, terutama otak. Jika kualitas fisik dan otak mengalami gangguan, maka Jiwa juga bakal mengalami gangguan. Kerusakan pada Otak menimbulkan kerusakan pada Jiwa, karena fungsi otak ternyata direpresentasikan oleh sel-sel yang terdapat di otak.
9. Bahwa Jiwa adalah sosok yang bertanggungjawab terhadap segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia. Jiwa memiliki kebebasan untuk memilih kebaikan atau keburukan dalam hidupnya Segala akibat dari perbuatannya akan kembali kepadanya. Namun, tanggungjawab itu akan dipikul oleh Jiwa, bukan saat Jiwa terpisah dari badannya, melainkan ketika Jiwa telah dikembalikan ke badannya pada hari kebangkitan kelak.

Dengan adanya beberapa point di atas, maka kita bisa membuat kesimpulan umum untuk merumuskan tentang Jiwa.

Bahwa Jiwa adalah 'sosok' non fisik yang berfungsi dan bersemayam di dalam tubuh seorang manusia. Ia bertanggung jawab terhadap seluruh perbuatan kemanusiaannya. Eksistensi jiwa terbentuk, ketika ia bergabung dengan fisiknya. Dan kemudian 'tidak berfungsi' ketika terpisah dari badannya.

Jiwa dan Fisik adalah dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang, yang tidak bisa berfungsi sendiri-endiri. Keduanya baru berfungsi ketika ada bersama-sama.