2006-06-21

Apakah Doa Itu?

Rekan-Rekan yang Berbahagia:
Ternyata memang masyarakat Indonesia termasuk salah satu yang paling spiritual atau rohaniah di dunia. Segalanya dimulai dengan doa, baik Bismillah maupun Atas Nama Bapa..., dan diakhiri dengan doa pula. Amin. Tetapi apakah Doa itu?

Om Shanti Shanti Om... seperti diucapkan di Bali adalah Assalamualaikum menurut pengertian Arab. Yang manakah yang benar karena menurut Yahudi, kata itu seharusnya berbunyi Shalom, dan bukan Salam?

Kita di Indonesia banyak mengambil kosa kata Arab sehingga tradisi Yudeo-Kristen di Indonesia terlihat ke-Arab-Araban... Seperti Arab, tetapi bukan. Apakah itu salah?

Hindu di Indonesia juga terhinggapi dan dihinggapi oleh salah kaprah itu. Di SD kita banyak dijejali tentang Monotheisme dan Politheisme. Dan Hindu dibilang sebagai Politheistik, menyembah banyak Dewa. Dulu saya menerima indoktrinasi itu begitu saja.
Sekarang saya tertawa kalau masih ada yang bilang bahwa Hindu itu politheistik.

Saya sekarang mengerti bahwa Hindu itu monotheistik. Tuhan hanya satu, dan Dewa Dewi yang banyak itu hanyalah manifestasi dari Tuhan yang satu. Sangat sederhana sekali, dan tak perlu dibuat ribet.

Masyarakat Indonesia memang pada dasarnya memiliki bakat untuk mendalami kerohanian. Untuk menjadi spiritual bahkan tanpa bersusah-payah menunjukkan bukti seperti orang-orang Barat itu. Kita disini bias bilang bahwa kita beragama, walaupun buktinya secara agregat sangat sedikit. Dan kita dengan bangga bias mengangkat kepala di hadapan masyarakat Barat yang kita cap sebagai Atheis, walaupun buktinya banyak bahwa mereka menerapkan ajaran agama-agama tanpa banyak gembar-gembor seperti para petinggi agama (tertentu) di masyarakat Indonesia.

Inilah Paradoks Spiritualitas. Banyak dari mereka yang menjalani praktek spiritualitas tidak mengklaim dirinya sebagai spiritual. Dan banyak dari mereka yang mengklaim dirinya (atau masyarakatnya, atau kelompoknya) sebagai spiritual atau rohaniah, ternyata
berpraktek kebalikannya. Prakteknya ternyata tidak spiritual, atau hanya semata-mata di keduniawian semata, termasuk menghujat kelompok-kelompok lain dan memonopoli Surga untuk kelompoknya sendiri.

Paradoks Spiritualitas adalah normal. Saking normalnya sehingga kita di Indonesia melihatnya sebagai biasa-biasa saja. Biasalah...!

Kali ini saya ingin mengajak rekan-rekan sekalian yang berbahagia untuk sekedar berbagi pengalaman dan pengertian tentang Doa. Apakah Doa Itu?

Sebagian dari kita berdoa untuk mengumpulkan Pahala. Supaya Pahala itu menumpuk sekian banyak sehingga Tuhan akan melupakan segala Dosa. Supaya Pahala lebih banyak dari Dosa sehingga Tuhan -yang disini divisualkan sebagai Tukang Timbang, seperti pedagang grosir yang menimbang berat barang- bisa memutuskan bahwa si Pendoa layak masuk Surga.

Sebagian dari kita berdoa untuk Menyembah. Sebagian Menyembah Tuhan (atau Dewa, atau Dewi, atau Buddha, atau Yesus, atau apalah...) demi penyembahan itu sendiri. Tanpa pamrih, tanpa alih-alih mengumpulkan Pahala. Sebagian lagi demi mengumpulkan Pahala di Sorga... gak beda seperti mengumpulkan Bonus; seperti Bonus terbang gratis promosi kredit card Citibank atau... mungkin promosi Matahari Department Store. Bonus Bo!

Atau mungkin memohon-mohon kepada Tuhan supaya rezekinya berlimpah-limpah. Mohon saja berkali-kali, malah kalau dengan Puasa bisa lebih afdol. Tuhan akan lembek hatinya dan mengabulkan permintaan si pendoa. Permintaan bisa macam-macam, dan bukan soal kerejekian saja. Bisa juga soal jabatan. Minta naik jabatan kepada Tuhan, minta supaya disayang sama Boss, minta supaya istri tidak nyeleweng, minta supaya suami setia walaupun sudah diterjang proposal selingkuh kanan kiri. Minta supaya anak-anak jadi Orang.

Menjadi Orang atau Manusia itu susah ternyata. Banyak maunya, dan banyak jalannya. Kalau metode tertentu ternyata kurang sip, masih ada metode lainnya. Agama satu kurang afdol, masih bisa pilih agama lain. Cuek azzah, katanya. Yang penting Tuhan denger doa saya, katanya. Itu katanya lho!

Memang lucu. Yang lucu itu bukanlah ajarannya, tetapi para pelakunya. Persis seperti pendukung tim sepakbola. Saling berteriak menjagokan timnya (baca:Agamanya).

Buat saya dan sebagian orang, barangkali, perilaku para pelaku agama yang mengaku sebagai orang yang memiliki kerohanian atau spiritualitas tinggi itu bukanlah hal aneh. Memang lucu, tetapi tidak aneh, dan tidak mengagetkan. Sebagai Data, mereka valid. Valid untuk penelitian Sosiologis (Sosiologi Agama) atau Psikologis (Psikologi Agama).

Yang menjadi tanda tanya bagi saya dan sebagian orang adalah apa yang dilakukan para pelaku keagamaan itu dengan kepercayaan agamanya itu. Apakah Tuhan yang mereka akui sebagai sesembahan itu hanya Slogan semata? Atau adakah suatu Iman tertentu yang diyakini sedemikian rupa sehingga para pelaku keagamaan itu bisa menjadi lebih manusiawi seperti dikehendaki oleh sesuatu yang disebut sebagai Tuhan itu?

Atau, apakah memang benar bahwa sebagian Tuhan dari agama-agama memang tidak Bertuhan sehingga pelaku keagamaan tertentu yang telah dikuasainya menjadi begitu brutal, baik dalam kata-kata maupun perbuatan.

Barangkali jawabnya cuma bisa ditemui dalam Doa yang mereka lakukan. Para peneliti, lihatlah apa Doa mereka? Dan lihatlah kaitan antara Doa dan Perbuatan.

Adakah yang sinkron? Adakah yang menyambung antara Doa yang dipanjatkan ke Atas dan perbuatan yang semata horizontal ke Samping. Kalau ada, maka bias diasumsikan sebagai Sehat. Kalau tidak ada, maka itu Sakit.

Yang Sehat atau Sakit bukanlah agama-agama itu, melainkan pelaku-pelakunya. Lihatlah pengertian tentang Apakah Doa Itu dikalangan mereka yang menjagokan Agama. Dan bandingkahlah dengan praktek nyata di lapangan kemanusiaan. Apakah benar dipraktekkan atau cuap-cuap belaka.