2006-06-01

PERSPEKTIVISME - TUHAN

"I don't need to believe in GOD, because I AM"
Karya seni adalah manifestasi atas sosok seniman itu sendiri.Dengan kebebasan untuk memilih, seniman mengekspresikan dirinya melalui karya-karya yang bercerita. Keberagaman ciptaan merupakan bagian dari proses menuju kesempurnaan. Masing-masing ciptaan menceritakan sosok penciptanya pada setiap masa. Totalitas menjadi sebuah keharusan untuk menuju kesempurnaan, dimana ia berhasil menyatu dengan karya yang sekaligus menjadi dirinya. Karya paling sempurna…
Manusia adalah ciptaan Tuhan paling sempurna, manifestasi Sang Sempurna atas kesempurnaanNYA. Berawal dari Sang Sempurna menuju/kembali kepada Sang Sempurna. Manusia Tuhan dan Tuhan manusia…

Kausa Prima
"Manusia butuh Tuhan untuk menjadi sempurna"
Mungkinkah manusia menemukan kesempurnaan tanpa Tuhan?
Pertanyaan:
Mengapa harus mempercayai kesempurnaan ketika kesempurnaan Tuhan itu sendiri tidak bisa dijelaskan?
Jawaban:
Bagaimana mungkin pertanyaan tentang kesempurnaan bisa diajukan ketika (Sang) sempurna itu sendiri ditiadakan?

Manusia memerlukan kausa prima (sempurna) untuk memahami, mempertanyakan, mempercayai, mencapai atau menjadi sempurna. Mengingkari (kesempurnaan) Kausa prima adalah berarti mengingkari kesempurnaan (manusia) itu sendiri. Kebebasan untuk memilih adalah faktor yang menentukan kesempurnaan atau ketidaksempurnaan manusia. Kebebasan memilih adalah esensi pencipta-ciptaan itu sendiri.

Konsepsi awal kesempurnaan (manusia) adalah atas ucapan-petunjuk Sang Sempurna itu sendiri. Manusia (hanya) bisa sempurna ketika ia mempercayai kesempurnaan Tuhan yang menciptakannya sedemikian rupa (paling sempurna). Jika Sang Sempurna mengingkari nubuatnya sendiri atas kesempurnaan manusia (ciptaan paling sempurna), bukankah hal tersebut menjadikannya tidak sempurna? Bahwa kesempurnaan tidak ada? Nihilisme…

Paradoks Sempurna

Bisakah Tuhan menciptakan sebuah batu besar yang tidak mampu ia angkat?
Paradoks Sang Maha Pencipta yang sekaligus menjadi Maha Perkasa (mampu mengangkat benda sebesar apapun). Pilihan jawaban bagi pertanyaan diatas jelas bergantung pada perspektif individu penjawabnya. Memilih Sang Maha Pencipta adalah meniadakan Sang Maha Perkasa begitu pula sebaliknya. Perpektif adalah hakekat yang dimiliki manusia oleh keberadaan ego – ego adalah manusia itu sendiri.



Ego individu yang "rendah" akan mendekonstruksi eksistensinya dengan menempatkan individu bersangkutan sebagai pihak yang selamanya memiliki keterbatasan untuk memahami Sang Sempurna. Sementara ego (individu) yang "tinggi" akan menolak kesempurnaan atau meniadakan eksistensi Sang Sempurna itu sendiri. Kedua contoh diatas menggambarkan karakteristik ego (manusia) yang berbentuk dualitas ketika mencoba memahami Yang-Satu - dengan memberikan jawaban yang sama-sama absurd.

Bagaimana ego (individu) bisa memahami kesempurnaan (Sang Sempurna) ketika ia merasa tidak (akan pernah) sempurna? Bukankah justru kelompok-kelompok yang memiliki ego sedemikian rupa (rendah) senantiasa "merasa" mengenal Sang Sempurna dan kesempurnaannya ketika ia hidup didunia. Bagaimana mungkin yang tidak sempurna bisa menceritakan arti sempurna? Bukankah sama halnya dengan seorang buta warna yang berusaha meyakinkan bahwa dunia ini berwarna-warni?

Bagaimana pula ego (individu) bisa (merasa lebih) sempurna ketika ia justru mendekonstruksi (kausa prima) sempurna itu sendiri? Bukankah sempurna menjadi tidak ada ketika ego melampauinya? Bukankah selamanya ego menjadi tidak akan pernah mengerti, memahami, atau menjadi sempurna? (nihilisme)

Paradoks diatas sesungguhnya akan sangat mudah untuk pahami jika ego mampu bercermin pada esensi mendasar (pemahaman) ego itu sendiri. Kebenaran jawaban dari ego penjawab (yang berbentuk) dualitas sepatutnya direfleksikan kepada (dualitas) ego pemilik pertanyaan:

Tuhan bisa melakukannya – jika jawaban tersebut membuat ego (yang menginginkan kesempurnaan) merasa lebih sempurna. Atau,

Tuhan tidak bisa melakukannya – jika jawaban tersebut membuat ego (yang menginginkan kesempurnaan) merasa lebih sempurna.

Ada hal menarik yang bisa ditarik dari kedua kesimpulan diatas, bahwa ego senantiasa menginginkan kesempurnaan dan bisa melakukan apa saja keinginannya atas kebebasan untuk memilih, yang membuat Tuhan (kausa prima sempurna) bisa melakukan apa saja yang diinginkan ego. Tuhan bisa melakukan apa yang dikehendaki ego ketika ego bisa melakukan apa saja kehendaknya terhadap Tuhan. Namun hal yang perlu dicermati ialah bahwasanya kedua jawaban tersebut hanya bisa "sempurna" ketika eksistensi kausa prima (sempurna) tetap dipertahankan.

Jawaban pertama jelas tetap mempertahankan eksistensi `sempurna', sementara jawaban kedua hanya bisa benar jika hasilnya tidak menghilangkan eksistensi `sempurna' itu sendiri. Jika ego pada jawaban kedua tetap mempertahankan kausa prima kesempurnaan, ia akan menemukan bahwa dualitas bisa-tidak bisa sebagai bentuk `ilusi' dari ego itu sendiri - yang bisa memberikan faktor kepuasan (kesempurnaan), dimana-bagaimanapun ia diletakkan atas dasar kebebasan untuk memilih. Fenomena yang menjelaskan mengenai pentingnya `batas' untuk tidak melampaui kausa prima `sempurna' itu sendiri untuk menghindari nihilitas.



Suatu hal yang telah sempurna sejak awal konsepsi Tuhan (Sang Sempurna) diturunkan kepada manusia. Sebagai ciptaan yang (paling) sempurna, namun tidak (jangan) melampauinya. Manusia memerlukan Tuhan untuk sempurna…

Dualitas Ego
"Ego mengenali Yang Satu dalam bilangan lebih"

Perspektif adalah konsekwensi mutlak atas keberadaan ego. Perspektif (indra-nalar) manusia melahirkan persepsi atas (ilusi) dualitas. Siang-malam, terang-gelap, positif-negatif, baik-buruk dan seterusnya. Sebuah fenomena satu yang dipahami sebagai dua hal yang `berlawanan' - dualitas merupakan format paling primitif ego. Siang adalah lawan (kebalikan) dari malam, terang adalah lawan (kebalikan) dari gelap, positif adalah lawan (kebalikan) dari negatif, baik adalah lawan (kebalikan) dari buruk dan seterusnya, dimana ego (manusia) memiliki kebebasan untuk memilih diantara keduanya.

Apakah terang dan gelap adalah faktor eksternal yang ditangkap oleh panca indera-otak manusia dan dipahami (oleh ego) sebagai "realitas"? Bagaimana ego bisa mengenal baik dan buruk ketika hal tersebut tidak dapat langsung ditangkap oleh panca indera-otak manusia?

Bukankah hal tersebut secara tidak langsung menyiratkan sifat alamiah ego yang mendasari pemahaman manusia yang berbentuk dualitas? Apakah kemampuan panca indera-pemikira manusia lah yang membentuk (realitas) dualitas, atau sebaliknya ego lah yang menggerakan panca indera-otak untuk membentuk (ilusi) dualitas atas Yang Satu?

Apakah keberadaan Kausa Prima - Sang Sempurna - Yang Satu sesungguhnya mengarahkan ego untuk menjadi sempurna?

Trinitas Ego
"Ego mengenali dirinya dalam bilangan lebih"

Ego mencari kesempurnaan. Trinitas (Tiga dalam satu atau sebaliknya) merupakan transformasi lebih lanjut atas upaya ego memahami Yang Satu secara lebih baik. Wujud trinitas ego tercermin pada berbagai fenomena yang (sesungguhnya) berhubungan langsung dengan manifestasi Sang Sempurna. Dualitas ego mulai memahami bahwa keberadaan 2 elemen yang berlawanan adalah saling mengimbangi dan meniadakan. Tidak ada siang tanpa malam, tidak ada baik tanpa buruk, tidak ada positif tanpa negatif dan seterusnya ditambah faktor yang menyebabkannya.

Trinitas adalah bentuk sublimasi elemen ke-3 yaitu fenomena yang senantiasa berlaku pada beberapa fenomena-fenomena dualitas. Fenomena yang mengawali, berada ditengah-tengah atau mengakhiri dualitas - tidak berawal dan tidak berakhir. Pemahaman yang lebih jauh atas keberadaan Kausa Prima, kausa atau gaya pada alam semesta.



Anak-Bapak-Roh Kudus, Brahma-Siwa-Wisnu, Tesis-Antitesis-Sintesis adalah bentuk-bentuk Trinitas (ego). Ego mulai memahami gambaran yang lebih kompleks dan abstrak atas kesempurnaannya dan/atau atas atas yang satu dan Yang Satu.

Anak-Bapak-Roh Kudus

Anak adalah faktor seimbang dari elemen bapak (dualitas), sementara roh kudus merupakan sublimasi atas faktor yang lebih sempurna/menyempurnakan keberadaan keduanya. Secara implisit elemen roh kudus berada pada posisi yang paling tinggi.

Brahma-Siwa-Wisnu

Pada konsep Trimurti (3 atas 1 dan/atau sebaliknya); Wisnu adalah Pencipta, Brahma Pemelihara, dan Siwa adalah Penghancur / Perusak. Umat Hindu meletakan Siwa pada posisi teratas diantara ketiga elemen tersebut.

Tesis-Antitesis-Sintesis

Dalam dunia modern para ilmuwan menempatkan elemen-elemen (trinitas) tesis, antitesis dan sintesis pada posisi yang setara. Tesis adalah faktor penyeimbang, yang mengadakan dan/atau meniadakan antithesis, sementara sintesis yang meniadakan keduanya atau tidak ada tanpa kehadiran keduanya.

Psikologi dan Trinitas
"Waktu, situasi, tempat dan fenomena adalah warna bagi ego"

Dalam beberapa kasus, dualitas ego masih mengambil peran dominan dalam pemahaman trinitas. Kondisi psikologis atas waktu, situasi, tempat serta fenomena yang berbeda adalah faktor yang menentukan keberadaannya.

Dalam trinitas Anak-Bapak-Roh kudus, faktor psikis yang melandasi upaya pencarian kesempurnaan, ketenangan hidup, (konsep-konsep abstrak) membuat ego menempatkan elemen abstrak (Roh kudus) menempati posisi tertinggi diantara elemen-elemen lainnya. Keterikatan ego pada format lama dualitas (tinggi-rendah) mengambil peran dominan dalam memunculkan pemahaman melalui bentuk trinitas tersebut.

Selain itu, dogma Katolik telah sejak awal dilandasi oleh konsep (dualitas) tinggi-rendah antara pencipta dan ciptaannya. Anak dan bapak adalah elemen atau simbol yang bisa dipersonifikasi oleh sosok manusia (si rendah), sementara posisi yang tinggi haruslah diwakili simbol abstrak yang tidak bisa dipersonifikasi oleh siapapun kecuali-Yang Satu (Tinggi).



Dalam Trimurti (Hindu), ketiga elemen tidak dipandang sebagai sebagai simbol yang bisa dipersonifikasi oleh sosok manusia. Siwa menempati posisi tertinggi ketika elemen yang diwakilinya merupakan lawan/penyeimbang (antitesis) dari Wisnu. Hal tersebut berbeda dengan trinitas Anak-Bapak-Roh kudus, dimana secara sekilas tampak bahwa Brahma-lah yang sepatutnya menempati posisi tertinggi diatas kedua elemen yang berlawanan tersebut (Siwa-Wisnu).

Hindu sebagai salah satu aliran kepercayaan tertua, diturunkan ketika manusia masih sangat jauh untuk bisa mengatasi kondisi alam. Faktor psikis yang didominasi oleh kecemasan, ketakutan, ancaman, kerusakan, atau kehancuran dari alam atas manusia adalah bagian yang melandasi ego (yang terikat pada dualitas tinggi-rendah) menempatkan Siwa pada posisi tertinggi. Beda halnya pada (trinitas) tesis-antitesis-sintesis dimana dualitas (tinggi-rendah) ego tidak mengambil peran apapun didalamnya.

Disini contoh-contoh diatas tampak jelas bahwa ego memiliki kebebasan untuk memilih bentuk pemahamannya atas fenomena trinitas. Namun keterikatan ego akan dualitas senantiasa muncul ketika memakna Yang Satu (Kesempurnaan). Faktor psikis (dualitas tinggi-rendah) hadir ketika ego berhadapan dengan trinitas yang menempatkannya sebagi ciptaan (yang lebih rendah), fenomena yang tidak terjadi pada (trinitas) tesis-antitesis-sintesis dimana ego berperan sebagai penciptanya.

Dualitas tinggi-rendah merupakan refleksi ego atas fenomena (dualitas) pencipta-ciptaan. Apakah pencipta-ciptaan merupakan realitas yang dipahami oleh (ego) individu? Atau ego itu sendiri yang sesungguhnya memunculkan dualitas pencipta-ciptaan? The Creator and Co-Creator…

Awal dan Akhir kesempurnaan
"Awal kesempurnaan merupakan akhirnya"

Anak (tesis)-Bapak (antitesis)-Roh Kudus (sintesis), Wisnu (tesis)-Siwa (antitesis), Brahma (sintesis). Tanpa kehadiaran dualitas (tinggi-rendah) ego, (trinitas) tesis-antitesis-sintesis bisa disublimasikan atau diekstrakan pada-dari bentuk-bentuk trinitas lainnya. Waktu membawa pemahaman yang lebih sempurna atas yang satu dan Yang Satu.

Fenomena yang menarik adalah bahwa trinitas telah ada dan dipahami jauh sebelum (trinitas) tesis-antitesis-sintesis dijabarkan oleh ilmu pengetahuan modern. Trinitas berlaku universal pada keseluruhan hukum yang berlaku dialam semesta. Apakah secara implisit hal tersebut menjelaskan bahwa (manifestasi) Sang Sempurna telah sempurna sejak awalnya? Dan evolusi (pemahaman) manusia adalah menuju Sempurna?

Apakah ketidak hadiran (dualitas) ego pada fenomena trinitas membawa pemahaman atas kebenaran sejati? Secara pribadi saya meyakini bahwa jawaban atas hal tersebut merupakan kunci untuk menguak misteri nihilisme – bahwa nihilisme (hanya) terjadi akibat pengingkaran kesempurnaan pencipta-ciptaan itu sendiri… SINERGI SEMPURNA.