2006-06-01

Pengalaman Relijius menurut William James

Selama ini semua tulisan dengan warna agama yang dikirimkan ke milis mendasarkan argumennya pada logika belaka; penalaran berdasarkan prinsip-prinsip induksi deduksi dan penelusuran arti dari ajaran-ajaran agama. Baik agama yang dianut oleh pengirim maupun pembahas posting, maupun agama lain yang ditelaah.

Apakah tidak ada cara lain? Tentu saja ada, walaupun barangkali cara itu tidak familiar. William James, seorang perintis psikologi dari Amerika Serikat, dalam bukunya yang sudah berusia satu abad dan berjudul "Varieties of Religious Experience" (sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) berusaha mengerti fenomena keagamaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan individu manusia. Manusia sebagai individu, dan bukan manusia sebagai kelompok angka-angka statistik belaka atau manusia sebagai
pembuat rekor output industri. Manusia sebagai manusia.

William James melihat bahwa agama (religi) hanya berarti apabila dialami sebagai pengalaman pribadi. Artinya, ada pengalaman pribadi yang bisa diterangkan dengan menggunakan simbol-simbol dari agama tertentu yang dihayati sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dari narasi kehidupan seseorang. Agama dalam arti itu tidak lagi berputar di segi argumentasi belaka, tetapi sudah masuk kedalam kesaksian pribadi
tentang bagaimana sosok imanen dan transenden yang dinamakan "Tuhan" telah beraksi secara konkrit dalam kehidupan pribadi seorang penganut agama.

Aspek inilah yang sangat dangkal di Indonesia. Argumen yang ada hanya berputar pada agama mana yang paling benar. Tentu saja jawabnya tidak ada. Sama saja dengan bertanya agama mana yang paling salah. Jawabnya tetap, tidak ada agama yang salah. Agama adalah buatan manusia. Konsepsi belaka. "Tuhan" juga adalah konsepsi belaka, suatu abstraksi dari sesuatu yang diasumsikan dialami secara pribadi oleh orang per orang.

Menurut James, ajaran agama atau religi adalah suatu wadah dialog antara penganut dan sesuatu yang dipercayainya sebagai "Tuhan". Harus ada dialog berupa pengalaman pribadi. Apabila itu tidak ada, maka yang terjadi adalah seperti orang buta yang menuntun orang buta. Seperti menggunakan buku penuntun doa untuk memimpin orang-orang lain yang membeo di belakangnya. Hasilnya seperti apa tidak akan dimengerti, dan
gunanya untuk apa juga tidak diketahui. Paling jauh orang itu hanya akan membuka buku lain lagi untuk memperoleh jawabnya, atau bertanya kepada orang lain yang dianggap mengerti. Inilah situasi di Indonesia.

William James di dalam bukunya melihat bahwa ada dua macam manusia penghayat keagamaan; yaitu: manusia yang lahir dua kali (twice born), dan manusia yang lahir satu kali saja (once born).

Manusia yang lahir dua kali adalah manusia yang mengalami suatu pengalaman relijius traumatis: suatu perjumpaan pribadi dengan yang absolut. Perjumpaan pribadi itu bisa diceritakan dengan narasi yang terstruktur rapi sehingga akan dimengerti oleh orang lain juga. Narasi akan berupa deskripsi tentang hal-hal yang sedikit demi sedikit akhirnya membawa seseorang sehingga mengalami hal traumatis tersebut. Dan setelah hal traumatis berupa pengalaman relijius yang menggoncangkan itu dialami, subyek akan berubah total. Berubah total dalam arti akan menjadi seorang yang percaya penuh bahwa "Tuhan" memang berperan dalam hidupnya dan bahwa ada misi tertentu di hidupnya. Tuhan tidak lagi menjadi suatu kata kosong seperti yang dialami oleh sebagian besar dari kita, tetapi merupakan suatu kata penuh makna yang terkait erat dengan hidupnya hari per hari, menit per menit, detik per detik. Tuhan hidup di dalam diri subyek.

Manusia yang lahir satu kali adalah mereka yang tidak pernah mengalami pengalaman relijius traumatis. Hidup berjalan sebagaimana adanya tanpa merasa perlu adanya intervensi Tuhan dalam kehidupan pribadi. Tanpa merasa perlu adanya intervensi yang benar-benar terasakan bahwa "Tuhan" berbicara kepada subyek dengan kata-kata yang jelas dan tidak bisa diartikan lain. Karena tidak ada keinginan dan harapan bahwa Tuhan perlu hadir secara pribadi, maka kehidupan subyek akan berjalan seperti itu saja selama hidupnya. Memang relijius, tetapi relijius suam-suam kuku saja. Tidak ada yang istimewa, semuanya seperti terstruktur dalam buku petunjuk. Hidup seperti apa adanya. Gembira bila sedang gembira, dan sedih bila sedang sedih.

Mereka yang mengalami kelahiran dua kali secara relijius terutama berasal dari kalangan Protestan, dan mereka yang cuma lahir sekali terutama berasal dari kalangan Katolik. Itu menurut penelitian William James dengan kesaksian-kesaksian tertulis yang tak terhitung
banyaknya di dalam bukunya itu.

Mereka yang mengalami kelahiran dua kali adalah mereka yang hidupnya bisa berubah total setelah bertemu "Tuhan". Bisa menjadi seorang yang taat beragama walaupun tadinya seorang yang tidak percaya. Bisa melakukan hal-hal luar biasa walaupun tadinya tidak memiliki tenaga dan daya untuk itu. Tetapi mereka yang hanya lahir sekali saja hanya akan seperti itu saja selama hidupnya. Pengalaman relijiusnya terutama bersifat komunal, dan bukan pengalaman pribadi bertemu dengan "Tuhan" dalam suatu ruang dan waktu tertentu.

Masyarakat Indonesia terutama terdiri dari mereka yang lahir satu kali saja. Jarang kita bertemu seseorang yang asli, yang mengalami sentuhan "Tuhan", yang memiliki pengalaman relijius traumatik sehingga tidak lagi tergoyahkan di dalam imannya. Yang tahu bahwa sesuatu yang dipercayainya adalah benar walaupun semua orang lain tidak percaya.

Dan lahir dua kali tidaklah harus berarti memiliki suatu pengalaman relijius dalam arti orthodoks konvensional atau menuruti ajaran-ajaran majelis ulama ini atau majelis ulama yang itu. Tidak seperti itu maksudnya. Kelahiran dua kali melalui pengalaman relijius traumatik adalah pengalaman pribadi yang berada di luar jangkauan kategori-kategori KTP. Bisa saja dikategorikan sebagai musyrik atau bidah. Tetapi itu genuine, asli, dan itulah yang berarti besar secara rohaniah karena tidak ada lagi yang bias menggoyahkan keyakinan orang itu.

Kalau yang lahir hanya satu kali, pengalaman relijiusnya hanya seperti itu saja. Komunal berupa hari raya yang semakin lama semakin terasa membosankan. Yang mencari "Tuhan" kesana kemari tetapi tidak juga ditemuinya.