2006-05-29

Yesus Bukan illah

Berbicara ttg ketuhanan Yesus sebaiknya dalam konteks Yudaisme dan bahasa Injil ditulis, mengapa? Karena ada distorsi bahasa yg mungkin menimbulkan salah pengertian. Dalam keseluruhan Perjanjian Baru, Yesus disebut 'kyrios' yang bisa berarti 'tuan' atau 'Tuhan'. Kata 'kyrios' juga dipakai untuk menerjemahkan nama 'Yahwe/YHVH'. Kyrios (bhs. Yunani) ini sejajar dg Yahwe ( Ibrani), Lord (Inggris), di Arab dipakai Rabb dan di Indonesia diterjemahkan Tu(h)an, bahasa Jawa 'Gusti'. Lalu kata Allah, mengacu pada 'Elohim' dalam tradisi Yudaisme di Perjanjian Lama, lalu dalam bahasa Inggris dipakai God, dan dalam Yunani disebut Theos, dan di Arab Allah. Dari sini saja tampak bahwa di Indonesia Tuhan dan Allah tidak dibedakan, karena sama2 sebagai proper name. Menurut asal usulnya, kata Tu(h)an ini saja muncul pertama kali di Melayu oleh misionaris Belanda yg mula2 dari kata 'twan' atau 'tuan', lama2 berevolusi menjadi kata 'Tuhan'. Maka sebenarnya kata 'Tuhan' itu ciptaan misionaris lho...Nah, dalam tradisi Muslim tidak dibedakan antara Tuhan dan Allah sebagaimana dalam tradisi Kristen/Yahudi. Coba saja kita simak "La illaha Illa Allah", bukankah sebaiknya lebih tepat diterjemahkan "Tiada ilah selain Allah" untuk menegaskan superioritas Allah di antara ilah-ilah sesembahan, bukan tiada Tuhan selain Allah, karena padanan Tuhan dalam Arab adalah Rabb bukan illah? Ini bukankah sejajar dengan I Kor 8:6:" namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup."
Maka ketika di Indonesia terjadi masalah transliterasi, kita perlu menjernihkan dalam konteks aslinya. Di Arab atau Syiria ini tidak menjadi masalah karena mereka memiliki frame pemahaman yg sama. Bagi saya ini perlu didialogkan tidak diributkan dengan membabi buta. Islam dan Kristen lahir dalam tradisi Timur Tengah, maka baik jika pendekatannya pun ke sana, tidak didekati dg konteks bahasa Indonesia yg seringkali sangat miskin utk menyebutkan perbedaan2.
Maka ketika Tu(h)an Yesus berdoa kepada Allah (Bapa) kita bisa memahaminya dalam konteks demikian. Yesus berdoa di taman Getsemani, dan ketika disalib Ia berdoa:"Eloi, Eloi, lama sabachtani." Ini bukan sekedar erangan keputusasaan, tetapi lagi2 dalam tradisi Yahudi, mereka biasa mendaraskan ayat2 Mazmur (Jabur) sebagai doa, dan tak dipungkiri Yesus pun mendoakan Mazmur 22 bahkan secara utuh. Jika Anda berkenan membaca Mazmur 22 secara utuh, akan tampak bahwa yg tertangkap bukan rintihan keputusasaan melainkan sebuah pewartaan dan pernyataan mesianik.
Tentu penjelasan saya tidak sempurna dan bisa jadi makin menjadikan apatis. Ya, beginilah metode pendekatan kontekstual yg tidak bisa diterima kaum literalis-skriptural, di hampir semua agama.