2006-08-14

Agustus dimata Belanda

Juli adalah pesta kalkun bagi orang Amerika di hari jadi. Agustusan adalah sorak-sorai orang Indonesia yang menyakitkan Kerajaan Belanda, karena Jepang membiarkan patriot Indonesia merdeka.

Sakitnya Belanda bukan karena kecolongan kekuasaan. Lebih sakit, karena "seharusnya Indonesia tidak terpuruk seperti sekarang". Belanda saja bisa mengelola selama 300 tahun dengan relatif stabil, lingkungan terjaga apik, gaji pegawai cukup buat tiga bulan. Terlepas Belanda menjajah, hidup masyarakat zaman normal relatif lebih baik. Indonesia harus fair.

"Ambtenaar"-lokal

Dulu rakyat produktif. Semua layanan administrasi publik berjalan mulus, tanpa pungli. Yang strategis, konsepsi tata ruang yang siap mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Kini, banjir masuk Istana. Rusak oleh ambtenaar-lokal.

Perilaku ambtenaar-lokal ini paling menyakitkan Belanda. Mereka dididik, difasilitasi berlebih, dan dipercaya berkuasa menjadi alat penjajah. Setelah merdeka, mereka tetap berkuasa tanpa menggubris jasa Belanda. Merdeka, dimanfaatkan buat "memilih tuan" yang lebih canggih. Juga menyakitkan pribumi, khususnya pejuang kemerdekaan.

Belanda adalah pihak asing yang amat tahu perilaku manusia jajahannya. Seperti orang Spanyol tahu benar Argentina, Brasil, dan lainnya. Atau Inggris tahu benar negara-negara commenwealth. Mereka, penjajah dan yang dijajah, tidak bermusuhan bahkan saling membantu, setidaknya secara psikologis. Nasionalisme Malaysia (di belakangnya
Inggris) dicuatkan Mahathir dengan mengkritik APEC. Sementara ditekan tuan baru, "Nasionalisme Indonesia" menjadi barisan APEC terdepan.

Meski tersakiti, haruskah Indonesia selalu menolak yang berbau Belanda? Bukankah Indonesia itu blessing, berasal dari Hindia Belanda. Memusuhi Belanda justru kerugian. Kesannya sombong, menutup pintu bagi Belanda untuk balas budi. Tertutup peluang Belanda menjadi jembatan Indonesia ke dunia Barat, jembatan peradaban untuk
iptek, diplomasi, sampai bisnis, seperti bekas jajahan lainnya.

Kebutuhan Belanda

Keinginan Belanda untuk berhubungan baik dicurigai. Ini sikap keterjajahan, minderwaardigheids-kompleks. Ambtenaar kebablasan adalah perilaku kompensasi rendah diri. Minder melihat bule lebih tahu Bali daripada Indonesia. Padahal, orang kampung lebih tahu Monas daripada Menteng. Orang kampung tak tahu Indonesia (dan
Menteng).

Belanda membutuhkan Indonesia. So pasti. Mulai sekadar rindu Parijs van Java, sampai ingin melanjutkan kebanggaan masa lalu, negara kecil tetapi mampu menguasai wilayah amat luas, kaya, dan strategis di Asia Pasifik selama 350 tahun.

Breakdown-nya, mungkin ada ribuan kebutuhan Belanda yang hanya bisa terwujud lewat Indonesia. Bila tidak tersalurkan, berpotensi merugikan Indonesia. Dunia memandang, Belanda lebih tahu Indonesia daripada orang Indonesia.

Memenuhi ribuan kebutuhan Belanda mustahil. Tetapi di antaranya pasti ada yang merupakan kebutuhan bangsa Indonesia. Selayaknya rakyat Indonesia memilah dan memilih yang sesuai kepentingan Indonesia merdeka. Hal ini bisa mengurangi sakit hatinya Belanda dengan keberadaan Indonesia merdeka.

Sedianya Ratu Beatrix hadir dalam Peringatan 17 Agustus 1995 di Jakarta, tetapi Parlemen Belanda melarang. Sebaliknya, 1996, veteran Belanda yang pernah bertempur melawan TNI di Jawa Barat mengundang veteran Siliwangi ke markasnya di Ermelo. Letjen (Pur) Himawan Soetanto memimpin 50 veteran memenuhi undangan. Beliau diminta
berbicara di salah satu fraksi Parlemen. Buntutnya, veteran Belanda mendapat santunan tertentu per bulan.

Pakar "berpikir sistemik" (J. Winardi) mengatakan, pendekatan kesisteman harus berakar pada perilaku para pelakunya. Sistem Indonesia Merdeka, harus berakar dari perilaku manusia Indonesia. Belanda amat paham perilaku manusia Indonesia, tetapi beda cara melihatnya.

Indonesia dihantui pahitnya penjajahan sehingga harus menggunakan Pancasila. Sedangkan Belanda merasakan nikmatnya penjajahan. Politik etis van Deventer menyadari kesalahan, dan dibaca Pendiri Negara dalam konteks peradaban, antisipasinya tertulis pada naskah Pembukaan UUD 1945. Persahabatan dua bangsa sudah didesain, meski belum terjabar untuk operasional.

Gerakan budaya

Perlawanan menjadi gerakan budaya, membebaskan dari jiwa keterjajahan. Pahlawan Nasional Hasanuddin, Imam Bonjol, Diponegoro, Teuku Umar, dan lainnya memang pemberontak. Tetapi tahun 1908-1942, tiada lagi pemberontakan. 17 Agustus 1945 adalah wujud gerakan budaya Boedi Oetomo yang menemukan momentum kalahnya Jepang.

Lain halnya paham hukum Belanda. Hindia-Belanda tetap dianggap miliknya. Jepang "meminjam" (rekapitulasi Kalijati 9 Maret 1942) dan mengembalikannya lewat Sekutu, 2 September 1945. Tetapi Indonesia merebutnya, Belanda terpaksa memberikan 27 Desember 1949.

Indonesia sebaliknya. Memanfaatkan hampa kekuasaan (15 Agustus–2 September 1945), rakyat mengintimidasi pemimpin agar negara segera diproklamasikan untuk memastikan Hindia Belanda sah milik Indonesia.

Peristiwa 20 Mei 1908; 28 Oktober 1928; BPUPKI; PPPKI adalah proses peradaban. TNI, RRI, wartawan, pemuda, dan siapapun yang tergerak, merupakan manifestasi gerakan budaya berbentuk pertahanan diri, tidak memberontak.

Sayang Indonesia, tidak konsisten dengan peradaban. Tidak memproduk hukum demi kepastian kebenaran. Pancasila, sejarah, Bhinneka Tunggal Ika, seluruh prasasti, bukan referensi karena eksistensinya tidak diperkuat hukum. Bahkan hingga kini belum ada UU Tanah-air dan Penduduk, dua prasyarat negara.

Wajarlah NKRI terpaksa melepas Sipadan-Ligitan. Itulah kelakuan ambtenaar-republik, pejabat berbaju Indonesia berjiwa "kulinya tuan". Bangsa dibuat tunduk pada hukum kolonial, jauh dari terbentuknya hukum nasional. Semua persoalan Indonesia berakar dari semrawutnya tata pikir (mindset) ini.

Dampak beda persepsi kemerdekaan meliputi tata pikir, perilaku sampai produk hukum pengendali kebijakan Indonesia. Barier psikologis harus dicerahkan untuk memenuhi kebutuhan kedua negara.

Belanda pasti enjoy bernostalgia sambil Agustusan di Parijs van Java (Bandung) dalam suasana Indonesia Merdeka. Indonesia akan memiliki jembatan peradaban ke masa depan, tidak harus lewat pesta kalkun.