2006-06-28

“THE TOTAL ECLIPSE OF THE WORLD”.

Whenever dharma declines and the purpose of life is forgotten, I manifest myself on earth. I am born in every age to protect the good, to destroy evil, and to re-establish dharma. ~ Bhagavad Gita IV:7-8.

Manusia menjalani hidupnya sesuai dengan pandangan-hidup yang dianutnya, terlepas dari agama apapun yang dianutnya secara formal. Kalau mau dikatakan, maka pandangan-hidup inilah sebetulnya “agama pribadi” seseorang.

Sekali sebentuk pandangan-hidup diadopsi—untuk kemudian—dianut oleh seseorang, kalaupun ia berniat, maka ia akan menemukan kesulitan besar untuk merubahnya. Ia boleh jadi diharuskan merubah haluan 180 derajat; samasekali berbalik dari sebelumnya, yang juga berarti merubah secara menyeluruh prinsip-hidup dan pola-pikir yang selama ini dianutnya. Ia seolah-olah menjadi “manusia yang baru” samasekali, dengan jalan-hidup yang baru pula.

Oleh karenanya, sebelum Anda terlanjur mengadopsi sebentuk pandangan-hidup tertentu, berhati-hatilah! Jangan asal adopsi, hanya lantaran itu kelihatannya baik dan menyenangkan buat dianut dan dijalani. Padahal itu hanya mengantarkan Anda pada kepapaan dan kenestapaan saja.

Pada sisi lain, gaya-hidup materialistik dan hedonistik telah sedemikian merajalelanya di dunia. Ia terus kian merebak dan meluas bersamaan dengan semakin terbukanya pergaulan global. Ia telah dinobatkan oleh banyak orang sebagai gaya-hidup global nan modern. Siapapun yang tidak mengadopsinya akan dicap kolot, puritan, kampungan, atau sejenisnya. Kalangan muda, yang masih labil secara mental-psikologis, tentu tak akan kuasa menerima cap seperti ini. Sebagai akibatnya.........

Sebuah gaya-hidup, sebetulnya adalah ekspresi dari budaya-hidup. Ia bukan sekedar trend. Secara sangat halus dan tersamar, ia akan membawa serta budaya-hidup dari mana ia dilahirkan. Sementara itu, suatu budaya-hidup, lahir dari suatu prinsip-hidup tertentu, dimana prinsip-hidup itu sendiri bersumber dari pandangan-hidup yang dianut oleh komunitas asal dari gaya-hidup itu. Apa artinya ini?

Ini berarti, mengadopsi suatu gaya-hidup tertentu, cepat atau lambat akan mengantarkan seseorang atau suatu komunitas kepada pandangan-hidup asalnya itu. Al hasil, cepat atau lambat, disadari atau tidak, materialisme dan hedonisme akan menjadi pandangan-hidup global, dengan menyisihkan ke pojok-pojok sempit dan temaram isme-isme lainnya. Sekarang saja, fenomena ini sudah kian tampak jelas bukan?

Dan ketika saat itu tiba, maka agama-agama memantapkan dirinya sebagai sekedar formalitas; apalagi di bumi Indonesia yang tidak mentolerir atheisme. Bagi sementara agamawan dan budayawan, ini tentu berarti malapetaka besar, berarti gelombang tzunami-global yang teramat sangat dahsyat. Betapa tidak; suatu faham dan budaya asurik (keraksasaan) yang diperangi
habis-habisan dengan amat sangat gigihnya oleh para Nabi umat manusia, para Mesias, para Avatara, para santo, para wali, para muni, para siddha, para saddhu, para orang-orang bijak nan berhati-suci, kini bangkit lagi dengan kekuatan dahsyat yang mengglobal. Ia bangkit dan siap melahap dan menghancur-lumatkan apapun yang berdiri di hadapannya, apapun yang mencoba menghalangi dominasinya, peradaban dan budaya adiluhung manapun yang tidak kompromistis dengannya. Seluruh sendi kehidupan umat manusia akan disusupi dan dijelmakan kembali sesuai dengan tata-nilai dan normanya. Bukankah ini amat sangat mengerikan?

Sedihnya, kelihatannya bencana ini tiada terelakkan. Terlebih lagi kalau pucuk-pucuk pimpinan dan garda-garda terdepan dari masyarakat religius justru saling bersaing, berseteru, gontok-gontakkan dan hendak saling memusnahkan satu dengan yang lainnya.
Adakah materialisme dan hedonisme benar-benar akan menjadi faham global tunggal bagi segenap manusia bumi? Hanya Sang Kala-lah yang akan menjawabnya. Dan pada saatnya nanti, lagu “The total eclipse of the heart” akan digubah-ulang dengan judul “The total eclipse of the World”.