2006-06-06

Surat kepada Setan

Surat kepada Setan
Oleh: Putu Wijaya

Tiba saatnya menulis surat kepada Setan.
Kenapa negeri ini terus digerogoti korupsi. Rakyat gampang beringas. Gara-gara kesenggol sedikit bisa bunuh-bunuhan lalu mengobarkan perang suku. Agama dijadikan senjata. Para pemimpin kehilangan akal sehat dan suka mengerahkan massa. Budayawan bagaikan dewa menguraikan kebenaran menurut enak perutnya sendiri dan tak ragu menyembelih presidennya sendiri. Belum lagi para suhu, pakar, petinggi, bahkan hampir semua profesional sudah berkhianat, tak ada yang sudi berkorban untuk masyarakat.
Soempah Pemoeda 77 tahun yang lalu tidak sakti lagi. Jamrut Khatulistiwa yang pernah dipuji bagai lautan senyum ini, kini menjadi daerah angker dengan label cap tak beradab. Anak-anak sekolah bukannya bersiap jadi generasi pengganti, tapi berantem di atap kereta api, mempraktikkan film laga. Wakil rakyat jor-joran menggelapkan uang negara, main tonjok dalam persidangan dan cakar-mencakar dalam pilkada.
Tidak cukupkah segala yang murahan itu hanya berlangsung di layar kaca? Kenapa narkoba jadi modernisasi, kebejatan jadi atribut gaul dan korupsi jadi usaha? Kenapa menaati hukum, menghargai orang tua, menjunjung moral, agama dan tata krama dianggap bodoh dan kuno?
Para pedagang menyikapi negara lebih baik dijarah daripada digerogoti pejabatnya sendiri. Kaum intelektual juga lebih doyan bertamu ke mancanegara sebab di sana kentutnya dijunjung tinggi, apalagi kritik-kritik dan hujatannya pada Tanah Air mendapat medali. Mereka malah paling rajin mengorek-ngorek pantatnya sendiri untuk menunjukkan betapa baunya bangsa dan negara ini, sambil malu-malu menyembunyikan kuku, karena dia masuk perkecualian.
Semuanya itu pasti gara-gara setan. Setan bertugas menghancurkan dunia membuat manusia menjadi lebih rendah dari binatang. Di mana ada manusia di situ ada setan. Ada yang bilang setan adalah karunia, sebuah mekanisme godaan yang bermakna menguji peradaban. Sering manusia yang sesumbar paling beriman, di balik topengnya yang santun jebul biangnya setan. Anehnya manusia macam itu selalu lebih mujur dari yang jujur. Yang berdosa jadi kaya, berkuasa dan berfoya-foya, sementara yang menentang setan, nasibnya terus termehek-mehek.
Kita tahu siapa setan, meskipun tidak pernah melihatnya. Setanlah sumber segala kebusukan dan malapetaka. Kita wajib menghancurkan dia. Untuk itu kita tidak bisa lagi hanya menghujat, mengutuk, menggonggong dari jauh terus. Membenci memerlukan energi, padahal BBM sudah akan naik lagi. Sekarang harus menukar strategi. Kita sapa setan dengan sopan, hormat, senyum akrab mengandung tawaran, menyiasati untuk kemudian setelah dia jadi jinak, membekuk dan mengakhiri riwayatnya habis.
Kita canangkan gencatan senjata. Bernegosiasi untuk berkoalisi, tapi semuanya hanya basa-basi. Tujuan kita pasti, setan harus mati. Sebaliknya dari kontra, kita harus berkolaborasi. Dengan mengangkat jadi kolega, setan akan mencintai manusia.
Sudah waktunya menulis surat kepada setan.
”Kawan sejati, Setan yang baik hati. Di mana pun kini Anda berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan, kita gotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan curiga-mencurigai, hasilnya akan kurang mamadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini, mari bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua laba kita bagi rata. Kalau perlu kau sembilanpuluh persen, aku sisanya. Aku tunggu balasanmu secepatnya, Setan!”
Surat aku masukkan ke pos tanpa membubuhkan nama atau pun alamat. Tukang pos pasti tahu ke mana harus dibawa. Kalau toh tukang posnya bego, setan sendiri pasti akan langsung mengambil surat itu, sebab dia tahu apa yang harus dia lakukan. Namanya juga setan.
Lalu aku menunggu. Berhari-hari, berminggu-minggu, setahun, lima tahun, kalau perlu sampai 30 tahun aku akan tetap setia menanti. Ternyata tidak ada jawaban. Aku panik. Jangan-jangan setan menolak. Jangan-jangan ia sudah tahu akal bulusku mau mengguntingnya dalam lipatan. Jangan-jangan ia sudah di”up-grade”, hingga tidak bisa lagi dikecoh. Setan kan selalu lebih hebat dari manusia. Kenapa aku jadi lupa?
Rasa takut mulai menusuk. Sukmaku bergetar, ngeri kalau-kalau setan menyerang karena merasa terhina. Habis aku sudah memperlakukannya seperti idiot. Sebentar-sebentar kalau ada mobil berhenti di depan rumah, aku panik, siap kabur. Tapi jebul itu hanya tetangga yang menumpang mobil kantornya. Ketakutan makin membengkak. Akhirnya aku coba mengatasi dengan ekstasi, tapi malah semakin menjadi-jadi.
Dengan panik aku mengunjungi psikolog. Tapi alumni mancanegara itu mengulangi lagi nasihat basi, aku harus berpikir positif. Jangkrik. Aku balik ke rumah dan akhirnya berdoa.
”Tuhan, ini tidak adil, aku kan makhluk ciptaanMu. Tak mungkin Kau tidak mencintai yang Kau ciptakan sendiri. Lindungi aku. Jangan biarkan setan menang. Aku bersumpah kalau manusia yang menang, aku jamin dunia ini akan lebih indah. Orang tidak perlu mati sebelum masuk surga, sebab dunia bisa kami bikin jadi surga oleh rasa cinta yang pada dasarnya juga adalah karuniaMu juga!”
Doa membawa ketenangan. Akhirnya aku pasrah. Cemas sudah membuatku berpikir. Dengan berpikir muncul ide-ide baru. Takut adalah bagian dari karunia untuk membuat peradaban manusia sempurna. Waktu itu tukang pos datang. Ada surat untuk Anda, katanya sambil tersenyum sopan, silakan diterima. Aku mengurut dada lega, syukurlah, akhirnya tiba. Orang sabar kasihan Tuhan.
Penasaran surat aku buka:
”Kawan sejati, Setan yang baik hati. Di mana pun kini Anda berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan, kita gotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan curiga-mencurigai, hasilnya akan kurang mamadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini, mari bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua laba kita bagi rata. Kalau perlu kau sembilanpuluh persen, aku sisanya. Aku tunggu balasanmu secepatnya, Setan!”

Putu Wijaya Sastrawan
[Sumber: Kompas Cyber Media, Jumat, 19 Agustus 2005]