2006-06-22

Semar dan Chuang Tzu

Semar bertubuh tambun: melukiskan keluasan hatinya. Ati segara, begitu kata orang Jawa: hati bagai samudera. Makin luas hatinya berarti makin halus pula rasa-nya. Dalam literatur Jawa, rasa adalah inti terdalam manusia, kebenaran tertinggi. Makin halus rasanya, berarti makin dekat orang itu pada inti kebenaran, makin tinggi tingkat spiritual-nya. Dan makin halus rasa seseorang, dia akan menjadi makin momot, makin luas ruang hatinya, sehingga bagai samudera yang bisa menampung ribuan sungai yang mengalir kepadanya tanpa menjadi penuh maupun kotor.

Sebaliknya makin kasar rasa seseorang, makin rendah tingkat spiritual-nya, makin kaku sikapnya, dan makin sulit menerima pandangan yang berbeda, tidak bisa hidup tenteram dengan kelompok lain, mau menang sendiri... dan ugal-ugalan. Lebih celaka lagi, dengan mengatas-namakan agama dan Tuhan!

Lao Tse mengajarkan: bahwa orang yang benar-benar bijak akan rendah hati dan tidak berdebat dengan siapapun. Semar adalah Dewa tertinggi, tapi dia mengambil rupa sebagai seorang hamba, seorang abdi yang dengan setia mengabdi pada para ksatria pilihan: Pandhawa Lima. Semar tidak pernah menginginkan jabatan tinggi bagi dirinya sendiri. Misinya murni: untuk menjaga harmoni semesta raya. Ia tak ubahnya seperti Chuang Tzu yang menolak dijadikan perdana menteri dan berkata: kura-kura yang hidup dalam lumpur jauh lebih baik daripada kura-kura yang diawetkan dengan air keras dan tinggal di istana raja.