OLEH:AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku “Mite Harry Potter”(2005, Jalasutra)
Mengapa di tanahku terjadi bencana?
Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
Dengan dosa-dosa
Atau Alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
--Ebiet G. Ade (Berita Kepada Kawan)--
Kisah Tsunami di Aceh, banjir yang menyapu Trenggalek, Sejumlah siswa yang meninggal disapu ombak di Pantai Seminyak Kuta, ancaman meletusnya Merapi hingga Gempa Jogja yang berasal dari Laut Selatan, adalah kisah-kisah yang menarik perhatian saya. Kisah yang bahkan beberapa diantaranya seakan memiliki suatu keterkaitan (sinkronisitas), seakan mengatakan suatu pesan yang melampaui kisah itu sendiri. Pesan yang mungkin bukan mesti ditangkap dalam kata-kata, tapi dalam keheningan kita. Kita seringkali berusaha menangkap makna kisah-kisah di atas, dalam kata-kata entah rasionalisasi, seperti: pergeseran lempeng tektonik, gerakan tak terduga, dsb. atau hal-hal yang brbau iman, seperti: hukuman, cobaan, ketabahan. Tanpa kita sadari, kata-kata yang biasanya berbuih bersama rentetan kehingaran pidato, khotbah, ceramah itu justru menghilangkan makna dari kisah-kisah itu, makna yang terucap dalam bisu dan hanya bisa tertangkap dalam keheningan.
Mungkin benar seperti kata Ebiet G. Ade, dalam lagu Berita Kepada Kawan, “semua diam, semua bisu, tinggal aku sendiri, terpaku menatap langit” atau tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Ya, mungkin rumput yang bergoyang lebih bisa memberi suatu pesan akan alam ini ketimbang segala penjelasan baik dari rasio maupun iman, yang banya bermain dalam kata-kata. Mungkin dalam keheningan rumput yang bergoyang justru bisa ditemukan makna dari semua kisah tersebut. Dalam keheningan rumput yang bergoyang, mungkin justru kita bisa menangkap arche-idea [ide awal sesuatu] yang tak terjelaskan kata-kata dari kisah-kisah itu, sesuatu yang mendahului ontologi segala bentuk kisah itu. Karena memang mestinya sudah tak ada lagi kata yang mampu menampung air mata dari semua kisah itu, karena ada suatu pesan di balik kisah itu, yang bukan sekedar tangis. Karena mungkin, sudah terlalu banyak darah bersimbah dalam kisah-kisah itu, sehingga tak tahu lagi Air macam apa yang bisa membersihkannya? Penebusan agung macam apa lagi yang mau digelar? Kehingaran Lomba suci macam apa lagi yang bisa dipertontonkan untuk menjelaskan makna semua kisah itu? Tidakkah di dalamnya akan selalu tersimpan pertanyaan menggelisahkan: untuk apa mereka mengalami kemalangan dalan kisah-kisah itu? Mengapa anak-anak tak berdosa juga mengalaminya?
Sungguh naif mereka yang mengatakan bahwa kisah-kisah itu hanya kebetulan. Terutama kisah terakhir tentang gempa di Wilayah Jawa Tengah, Jogja dan sekitarnya. Ketika ancaman dianggap datang dari Merapi dan pemerintah berusaha mengantisipasi dengan mengamankan penduduk dari ancaman Merapi, bencana justru datang dari Laut Selatan. Bukan kebetulan pula sebelum peristiwa ini ada beberapa ‘ajaran’ mengenai kearifan alam yang ditunjukkan oleh Mbah Maridjan, terutama ketika ia melakukan Tapa Bungkam sambil mengelilingi desa, demi memohon keselamatan. Memang mungkin pesan dari alam bukan ditangkap dengan kehingaran analisis, demo, kelaskaran, perintah, dogma, doa, atau khotbah; melainkan dalam hening.
Tak ada kebetulan di dunia ini, tapi juga tak semua hal bisa dirasionalisasi dan di-iman-isasi. Sama halnya dengan mite-mite di satu tempat yang berhubungan dengan mite-mite di tempat lain seperti dianalisis Carl Gustav Jung dan Levy-Strauss, maka kisah-kisah bersimbah tangis dan darah itu semua [yang semuanya berhubungan dengan alam] juga memiliki hubungan satu sama lain. Sama dengan mite-mite yang berhubungan karena ada pesan yang memang terkandung di dalamnya, begitu pula dengan kisah-kisah itu. Semua tuturan kisah, memuat di baliknya kisah lain yang terucap dalam hening. Ia hanya bisa tertangkap maknanya dalam keheningan, keheningan masing-masing dari kita.
Mungkin memang justru bukan bertanya kenapa semua ini terjadi, tapi justru dengan berhening kita akan mendapat maknanya. Hening akan menjauhkan dari kehingaran, men-alam-i semua kisah itu, meng-alam-i berarti menjadikan alam. Saya sengaja memisahkan kata dasar “alam” agar tampak perbedaan antara mengalami dan menjalani. Sudah menjalani belum tentu mengalami, jika apa yang dijalaninya belum menjadi alam, menjadi bagian dirinya yang bisa diterima. Ketika apa yang dijalani telah menjadi alam, maka ada penyatuan antara alam kisah dan alam diri kita. Dengan demikian, pesan-pesan dari kisah itupun akan menjadi satu dengan kita bukan melalui kata-kata canggih atau penjelasan dari pertunjukan suci manapun. Berhening, adalah melampaui kemanusiaan, mentransendensi apa yang imanen, menjadikan kisah-kisah itu sebagai sesuatu yang bisa membawa manusia mengatasi ke-manusia-an.
Ini bukan saatnya berkhotbah atau menjajakan teori, tapi justru berhening. Kadang kita lupa bahwa keheninganpun bisa mengatakan sesuatu. Terutama sesuatu yang tak bisa terjelaskan kata-kata. Kadang kita lupa bahwa kata-kata bukanlah makna dan mengangap sesuatu yang tak berkata pun akan tak bermakna. Berhening bukan sekedar diam, tapi mengosongkan diri dan menyatu dengan alam, dengan alam kisah, sehingga makna yang ada dalam kisah itu bisa menyatu pula dengan masing-masing dari kita. Ya, masing-masing dari kita, bukan hanya mereka yang menjalani kisah-kisah itu di tempat kejadian. Kisah-kisah itupun merupakan pesan bagi masing-masing dari kita, yang hanya bisa kita tangkap maknanya dalam keheningan, dalam empati pada mereka yang terlempar dalam kekosongan derita, dalam dialektikanya dengan perjalanan hidup masing-masing dari kita sendiri. Masing-masing dari kita, saya, juga anda. Dan, dalam keheningan itulah, Sang Makna akan berbicara. Seperti saya tulis minggu lalu dalam esei, the Silence Will be Spoken.